Pada 2012, Rakhine menjadi
sorotan dunia setelah terjadi bentrok berdarah kedua kelompok yang
menewaskan lebih dari 200 orang. Sementara 140.000 warga lainnya
terpaksa mengungsi. Hingga saat ini kekerasan belum berhenti terjadi.
Penyerangan ke tiga pos perbatasan pada 9 Oktober 2016 lalu memicu
dilaksanakannya operasi militer di Rakhine, tepatnya di wilayah yang
menjadi permukiman warga muslim Rohingya. Versi otoritas setempat,
kebijakan ini merupakan langkah pembersihan terhadap segelintir orang
yang mereka sebut sebagai kelompok militan dari kalangan Rohingya.
Namun belakangan, muncul dugaan penyalahgunaan wewenang oleh militer.
Mereka dikabarkan melakukan pemerkosaan, pembunuhan, dan pembakaran
rumah serta gedung. Terasing di negeri sendiri, tak memiliki kewarganegaraan,
didiskriminasi, dan menjadi sasaran siklus kekerasan yang tak terduga.
Begitulah kurang lebih gambaran kondisi warga muslim Rohingya yang
diberikan oleh Gregory B. Poling, analis dari CSIS.
Banyak kalangan di dalam negeri Miyanmar,
termasuk sejumlah tokoh agama dan para pemimpin politik, meminta agar
warga muslim Rohingya diusir melalui cara apa pun. Namun ada pula yang
membela mereka meski kelompok ini dibenci, sehingga melahirkan
kesenjangan politik. Para tokoh masyarakat yang membela keberadaan muslim Rohingya bahkan akan dilabeli persona non-grata.
Selama ini, publik hanya mengenali Rohingya sebagai warga muslim
minoritas yang teraniaya di Myanmar, sebuah negara yang mayoritas
penduduknya menganut keyakinan Buddha. Pertanyaan pun muncul, siapa
sebenarnya Rohingya? Dari beberapa literatur, Rohingya disebut telah berdiam di Rakhine
sejak abad ke-7, sebagian lainnya menyebut sejak abad ke-16. Nenek
moyang Rohingya merupakan campuran dari Arab, Turki, Persia,
Afghanistan, Bengali, dan Indi-Mongoloid.
Populasi mereka di Rakhine mencapai lebih dari 1 juta jiwa. Sebagian
besar hidup di Kota Maungdaw dan Buthidaung di mana di sana mereka
adalah mayoritas. emerintah Myanmar mengklaim bahwa Rohingya tidak memenuhi syarat
untuk mendapat kewarganegaraan di bawah UU Kewarganegaraan yang disusun
militer pada 1982. Dokumen tersebut mendefinisikan bahwa warga negara
adalah kelompok etnik yang secara permanen telah menetap dalam
batas-batas modern Myanmar sebelum tahun 1823. Itu adalah tahun sebelum
perang pertama antara Inggris-Myanmar.
Pemerintahan Jenderal Ne Win memasukkan 135 kelompok etnik yang telah
memenuhi persyaratan. Dan daftar inilah yang masih digunakan pemerintah
sipil Myanmar hingga saat ini. Pemerintah kolonial Inggris disebut-sebut merupakan pihak yang
mendorong migrasi Rohingya ke Myanmar. Ini yang memicu kebencian di
dalam negeri negara itu, sehingga digunakanlah tahun 1823 sebagai acuan
untuk menentukan kewarganegaraan.
Cerita yang dominan berkembang di dalam negeri Myanmar adalah
Rohingya merupakan pendatang baru. Warga muslim itu dikabarkan keturunan
imigran dari Bangladesh pada era kolonial. Namun menurut Gregory
B. Poling, belakangan kisah ini terbukti palsu. Pada 1799, seorang ahli bedah, Francis Buchanan, dengan perusahaan
British East India berpergian ke Myanmar dan bertemu dengan warga muslim
yang telah lama menetap di Rakhine. Mereka menyebut dirinya sebagai
Rooinga atau penduduk asli Arakan.
Ini menandai bahwa warga muslim Rohingya sudah hidup di Rakhine setidaknya 25 tahun sebelum 1823. Bahkan meski nama Rohingya terlalu tabu untuk diterima di Myanmar,
sejarah menginformasikan secara jelas bahwa kelompok etnik itu sendiri
telah berada di Rakhine sejak berabad-abad silam. Sebuah populasi muslim yang signifikan disebut telah hidup di
Kerajaan Mrauk-U yang memerintah Rakhine dari pertengahan abad ke-15
hingga akhir abad ke-18. Tak hanya itu, raja-raja Buddha dari Mrauk-U
bahkan menghormati umat muslim.
Menurut Poling, bukti tersebut menunjukkan bahwa komunitas muslim
itulah yang menjadi asal muasal Rohingya saat ini. Kelompok ini lantas
berasimilasi dengan gelombang imigran dari Bangladesh selama dan setelah
era jajahan Inggris.
No comments:
Post a Comment