Breaking News

Friday, December 31, 2021

TEUNGKU FAKINAH DALAM SUNYI SEJARAH

Dalam peperangan, perempuan lebih tangguh ketimbang pria! Mendengar pernyataan itu, laki-laki tak perlu kebakaran jenggot. Kalau dagu masih mulus tanpa jenggot, janganlah sinis. Mari kita simak pernyataan H.C. Zentgraaff (1983) dengan kepala dingin:

“…perannya di dalam peperangan sampai sekarang pun sukar untuk dinilai dan biasanya aktif sekali. Wanita Aceh, gagah berani, adalah penjelmaan dendam kesumat terhadap kita yang tiada taranya serta tak mengenal damai. Jika ia turut bertempur, maka tugas itu dilaksanakannya dengan suatu energi yang tak kenal maut dan biasanya mengalahkan prianya. Ia adalah pengemban dendam yang membara, yang sampai-sampai di liang kubur atau di hadapan maut pun masih berani meludah ke muka ‘si kaphe’…”

Kepala masih dingin, bukan? Hanya biasanya mengalahkan prianya. Namun, “hanya biasanya” ini maknanya bisa saja “lebih sering berkali-kali”. Zentgraaff menyebut perempuan Aceh secara khusus. Jumlah pejuang perempuan asal Aceh memang tak terhitung dengan jari. Tak sedikit dari mereka memimpin perang.

Dari deretan pemimpin perang adalah seorang perempuan manis yang suka mengajar murid-muridnya mengaji. Ia selalu tersenyum menawan dan membuat anak-anak menaruh hati. Di dayah Lam Pucok itu diajarinya juga murid laki-laki. Terkhusus murid perempuan dilatih pula keterampilan jemari.

Pernikahannya dengan Teungku Ahmad Aneuk Glee diporak-porandakan Belanda. Perjanjian Traktat Sumatera (1871) merusak kisah asmara mereka yang menikah pada 1872. Traktat London (1824) agar Belanda menghormati kedaulatan Kerajaan Aceh hanya termakan rayap. Inggris dan Belanda tak mengerti jika dua sejoli itu telah memimpikan seorang anak. Belanda pun melayangkan ultimatum perang terhadap Kerajaan Aceh pada 26 Maret 1873.

Aceh memang tak lengah. Pasukan-pasukan disiapkan begitu gagah. Di Pantai Cermin, tepi Laut Ulee Lheu, Teungku Ahmad dalam pasukan pimpinan Panglima Polem Nyak Banta dan Rama Setia tak rela Belanda bertingkah polah. Namun, 8 April 1873, nasib Teungku Ahmad selama-lamanya takkan lagi menatap wajah cantik teungku Fakinah.

Musnahlah impian teungku Fakinah mempunyai buah hati. Suaminya telah gugur di medan perang. Namun, perempuan kelahiran Desa Lam Diran, Kampung Lam Beunot atau disebut Lam Krak, pada 1856, itu tak kehilangan semangat. teungku Fakinah telah memahami dunia perang dari tempaan pendidikan militer dan ilmu yang diajarkan ayahnya.

Teungku Fakinah usianya lebih muda sekitar enam tahun dari Cut Nyak Dien (1850-1908). Ia lebih tua dari Cut Meutia (1870-1910). Teungku Fakinah berselisih sekitar 23 tahun dengan Kartini (1879-1904). Kalau Kartini berayah seorang bupati Jepara, teungku Fakinah berayah seorang mantan pejabat pemerintah. Datu Mahmud atau dikenal dengan nama Teungku Asahan, sang ayah, pernah sebagai pejabat kerajaan di zaman Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah (memerintah 1823-1836).

Dari silsilah, teungku Fakinah juga keturunan ulama. Ibunya, Cut Fathimah, adalah anak Teungku Muhammad Sa’ad. Ulama ini mendirikan Dayah Lam Pucok, sehingga kerap disebut Teungku Chik Lam Pucok. Kalau data ini benar, maka dayah tempat teungku Fakinah mengajar mengaji itu termasuk tua usianya.

Keterangan tersebut setidaknya menjelaskan daya pikat teungku Fakinah di tengah masyarakat. Setelah suaminya syahid di medan perang, ia melakukan kampanye perang. Pertama, menggalang perempuan-perempuan janda maupun bukan janda untuk bersama-sama mengumpulkan logistik perang. Logistik perang ini bisa berupa uang, benda-benda berharga, bahkan padi.

Kedua, ia membentuk sebuah pasukan atau Sukey. Dalam ukuran saat ini, pasukan yang dipimpinnya seperti sebuah resimen. Seperti di dayah tempatnya mengajar, resimen Sukey juga terdiri laki-laki dan perempuan. Ada empat “balang” dalam resimen ini tang mana teungku fakinah sebagai panglima nya. Satu batalion setidaknya terdiri dari 300 sampai 1.000 pejuang.

Dalam buku Peranan Wanita Indonesia di Masa Perang Kemerdekaan 1945-1950 (1986: 14-16) diterangkan bahwa dari empat batalion itu ada satu batalion berisi perempuan semua dan ditempatkan di Cot Weu. Cot Weu termasuk “kuta” alias benteng yang sekaligus dijadikan markas besar Sukey. Belanda tentu tak habis pikir sebuah markas tentara dengan ratusan perempuan menenteng senjata. Sedangkan tiga batalion lainnya ditempatkan di Lamsayun, Cot Bakgarot, dan Bakbale.

Catatan sejarah menyebutkan bahwa teungku Fakinah berkarib dengan Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien malu setengah mati ketika suaminya Teuku Umar bersiasat bekerja sama “membelot” ke Belanda. “Tatkala itulah Belanda memberinya gelar Teuku Umar Johan Pahlawan Panglima Besar Hindia Nederland,” tulis Mohammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad Jilid Kedua (1981: 195). Betapa teungku Fakinah tak segan menyindir-nyindir Cut Nyak Dien.

Dalam buku Cut Nyak Din (1996: 54), Muchtaruddin Ibrahim menuliskan cerita menarik:

“Dalam suatu kesempatan yang baik Teungku Fakinah menyuruh 2 orang utusan untuk menyampaikan maksudnya kepada Cut Nyak Din di Lampisang. Pesan Teungku Fakinah supaya Teuku Umar, suami Cut Nyak Din, datang dengan pasukan lengkap ke Lamdiran untuk menyerang Benteng Inong Bale (Benteng Janda). Kami telah siap menanti. Dengan demikian Teuku Umar akan mendapat julukan panglima tertinggi dari atasannya di Kutaraja. Ia telah berjasa, karena telah dapat menghancurkan sebuah benteng pertahanan wanita janda. Cut Nyak Din merasa terpukul menerima pesan yang bernada sinis dari Teungku Fakinah itu.”

Sebagaimana kebiasaan di Aceh, perempuan yang suaminya meninggal tak dibiarkan berlarut-larut kesepian. Apalagi teungku Fakinah yang janda dalam usia 17 tahun. Tak lama setelah suami pertamanya syahid, ia dinikahkan dengan Teungku Nyak Badai, seorang komandan bawahannya. K.H. Husein Muhammad dalam buku Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah (2020: 154) menerangkan bahwa pernikahan ini dilakukan untuk menghindari fitnah, sebab teungku Fakinah merupakan satu-satunya panglima perang perempuan dan kerap bermusyawarah dengan laki-laki.

Bersama Nyak Badai, teungku Fakinah berbulan madu di medan perang. Sampai kemudian suami keduanya ini juga syahid. Kendati kedua suaminya gugur di medan perang, teungku Fakinah merasa untung tak mendapatkan suami misterius seperti Teuku Umar. Kalau nasib tak mujur bisa-bisa Cut Nyak Dien gantian membalas sindiran. Suami ketiga teungku Fakinah adalah Teungku Haji Ibrahim yang kelak meninggal di Mekah. 

peperangan melawan Belanda yang dipimpin teungku Fakinah terbilang lama. Lebih lama ketimbang Cut Nyak Dien memimpin gerilya. Teungku Fakinah bersama pasukannya bertahan habis-habisan membendung serangan Belanda. Belanda pun dibuat berkeringat dingin sampai harus mengerahkan pasukan super besar untuk menggempur Lam Krak sekitar Juni 1896. Muka sejarawan Belanda pun malu menuliskan Kernal J.W. Stempoort yang mati kutu melawan panglima perang perempuan.

Perlawanan teungku Fakinah adalah perlawanan yang mengguncang dunia. Tentara Belanda dibuat kewalahan dengan gagah beraninya pasukan Sukey pimpinan teungku Fakinah lewat aksi patriotik “serang mundur”-nya. Sekitar Agustus 1896, mereka mundur ke Cot Ukam. Dari benteng pertahanan ini mundur lagi ke Gleeyeung, lantas mundur ke Indrapuri. Teungku Fakinah tak pernah kendur melakukan perlawanan. Dari Indrapuri, teungku Fakinah dan pasukannya membuat garis pertahanan berturut-turut di Lamsi, Seulimeum, dan Lam Tamot. Sempat hijrah ke Pidie, mereka mundur dan membuat garis pertahanan di Tangse.

Tak sedikit tentara Belanda yang bersimbah darah dan rebah mencium tanah. Belanda pun semakin dibuat depresi ketika teungku Fakinah dan pasukannya memutuskan bergerilya. Dari Tangse, mereka mengarungi rimba raya menuju Pase dan kemudian menuju Gayo Luas. Intelijen-intelijen Belanda semakin suka marah-marah, sebab berbulan-bulan tak berhasil memburu teungku Fakinah. Teungku Fakinah dan pasukannya selicin belut sampai Belanda tak mau mengakui telah bertekut lutut.

Sekitar tujuh tahun setelah meninggalnya Kartini, Fakinah keluar dari medan gerilya pada 1911. Berbeda dengan Cut Nyak Dien yang dikhianati, ia meletakkan senjata karena urusan strategi. Panglima Perang yang telah udzur seyogianya “turun gunung”. Teungku Fakinah kembali ke Lam Krak dan membangun Dayah Lam Diran.

Dengan anugerah usianya yang panjang, teungku Fakinah merasakan denyut pergerakan nasional awal abad ke-20. Penulis belum mendapatkan keterangan apakah ia sempat bertegur sapa dengan ulama-ulama dari Minangkabau. Ketika usianya sekitar 59 tahun pada 1915, ia bersama sang suami menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di Mekah. Dalam usia 62 tahun, ia kembali ke Aceh sebagai janda dan mereformasi dayahnya.

Di tengah masyarakat, teungku Fakinah adalah pemimpin yang disegani. Ia bersama rakyat setempat membangun sawah, ladang, pasar, dan jalan yang rusak akibat perang. Gotong royong ini termasuk membangun jalan yang relatif panjang dan diberi nama Ateung Seunabat. Kini jalan ini dinamakan Ateung Teungku Faki alias Jalan Teungku Fakinah. Catatan menyebutkan bahwa teungku Fakinah pada 1925 pergi lagi ke Tanah Suci selama setahun.

Kendati setiap tokoh perempuan Aceh memiliki sejarahnya sendiri, jejak teungku Fakinah terlalu memikat untuk dilupakan. Tampaknya ia lebih dihargai di negeri Serambi Mekah. Kalau kita jalan-jalan di Aceh, masyarakat tak asing dengan rumah sakit Teungku Fakinah. Di Banda Aceh berdiri juga Akademi Keperawatan Teungku Fakinah. Selain sebagai panglima perang, ia memiliki rekam jejak dalam dunia pendidikan.

Mata sejarawan tampaknya rabun dengan “kecantikan” teungku Fakinah. Bagaimana mungkin teungku Fakinah yang gesit melawan Belanda di medan perang ditaklukkan Kartini yang suka bercakap-cakap via surat dengan orang-orang Belanda di dalam kamar? Bagaimana mungkin teungku Fakinah yang lincah memainkan pedang demi kemerdekaan kalah dengan pena Kartini yang bermain-main dengan perasaan ketertindasan? Kalau urusan pendidikan, teungku Fakinah sejak muda telah mendidik perempuan-perempuan tanpa sepeser pun “belas kasihan” Belanda! Serabunnya sejarawan, lebih rabun lagi kaum pemuja feminisme Barat.

Dalam buku Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh yang disusun Tim IAIN Ar-Raniry Banda Aceh (2004), Nurjannah Ismail menerangkan bahwa sistem pendidikan yang dikelola teungku Fakinah di Lam Diran terbilang maju di zamannya. Tak hanya kaum perempuan yang belajar, tetapi juga kaum laki-laki. Buah didikan teungku Fakinah yang relatif juga terkenal antara lain Teungku Fathimah Batee Linteung, Teungku Sa’idah Lamjane, Teungku Fathimah Ulee Tutue, dan Teungku Hawa Lamdilip.

Masih perlu penelitian lebih lanjut hubungan Teungku Fakinah dan Rahmah El-Yunusiyyah (1900-1969) yang juga mengembangkan pendidikan perempuan di Minangkabau. Mungkin saja mereka pernah berpeluk mesra dan saling bekerja sama.

Teungku Fakinah meninggal dunia sebelum penanggalan diganti dengan kalender Jepang. Tepat 1938 Masehi, napas Teungku Fakinah berhembus pelan dan akhirnya tak bernapas sama sekali. Coba hitung saja berapa usianya. Hari teungku Fakinah lebih layak dirayakan di negeri ini. Wallahu a’lam.  (Hendra Sugiantoro)

Read more ...

Tuesday, December 28, 2021

Sahabat Rasulullah SAW Yang Sangat Dermawan, Utsman Bin Affan.

Orang Terkaya, Paling Dermawan pada masanya, sampai hari ini kekayaannya semua diberikan kepada umat Islam, termasuk pohon kurma, sumur Raumah, sumur yang dibelinya dari orang Yahudi. satu-satunya sumur masa Nabi sallallaahu ‘alaihi wa Sallam yang masih mengalir sampai sekarang meskipun usianya 1,400 tahun.

Pada Waktu b3ncana kekeringan melanda Madinah, kaum Muslimin terpaksa menggunakan sumur Rum sebagai sumber air satu-satunya. Sayangnya, sumur tersebut milik Yusuf, seorang Yahudi tua yang s3rakah. Untuk mengambil air sumur itu, kaum Muslimin harus membayar mahal dengan harga yang ditetapkan si Yaahudi.

Melihat keadaan penduduk Madinah, Utsman segera menemui Yusuf, si pemilik sumur. “Wahai Yusuf, maukah engkau menjual sumur Rum ini kepadaku?” tawar Utsman.

Yahudi tua yang sedang ‘m4buk duit’ itu segera menyambut permintaan Utsman. Dalam benaknya ia berpikir, Utsman adalah orang kaya. Ia pasti mau membeli sumurnya berapa pun harga yang ia minta.

Di sisi lain ia juga tidak mau kehilangan mata pencahariannya begitu saja. “Aku bersedia menjual sumur ini. Berapa engkau sanggup membayarnya?” “Sepuluh ribu dirham,” jawab Utsman.” Si Yahudi tua tersenyum sinis.

“Sumur ini hanya akan kujual separuhnya. Kalau bersedia, sekarang juga kau bayar 12 ribu dirham, dan sumur kita bagi dua. Sehari untukmu dan sehari untukku, bagaimana?”

Setelah berpikir sejenak, Utsman menjawab, “Baiklah, aku terima tawaranmu.” Setelah membayar seharga yang diinginkan, Utsman menyuruh pelayannya untuk mengumumkan kepada para penduduk, bahwa mereka bebas mengambil air sumur Rum secara gratis.

Sejak itu, penduduk Madinah bebas mengambil air sebanyak mungkin untuk keperluan mereka. Lain halnya dengan si Yahudi tua. Ia kebingungan lantaran tak seorang pun yang membeli airnya.

Ketika Utsman datang menemuinya untuk membeli separuh sisa air sumurnya, ia tidak bisa menolak walau dengan harga yang sangat murah sekalipun.

Demikianlah Salah Satu Sikap Kedermawanan Utsman bin Affan kpda Kaum Muslimin. Bahkan dana Syariah yang dikelola oleh pemerintah Saudi dimiliki oleh sahabat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, khalifah ketiga Utsman bin Affan radhiyallahu’ anhu yang telah dijanjikan tempatnya di surga sampai hari ini masih digunakan oleh umat Islam.

Ibnu Qudamah Al Maqdisi pernah ditanya,”Siapakah Sebenarnya Orang yg Paling Berbahagia itu?” Ia menjawab :

“Orang yang Paling Bahagia Sebenarnya adalah Orang yang Apabila Nafasnya Berhenti, Pahalanya Tetap Mengalir”. MasyaAllah.

Sumber: apaCerita. Press

Read more ...

MENGAPA BELANDA MEMAJANG KEPALA PANGLIMA NYAK MAKAM DALAM TOPLES AIR AKSA SETELAH DI PANCUNG?

Dalam salah satu adegan film  Cut Nyak Dhien yang dibintangi Christine Hakim, di sana ada adegan ketika tentara Belanda menggrebek sebuah rumah dan menemukan seorang pria tua terbujur di tikar karena sakit. Tanpa ampun seorang perwira Belanda menghunus pedang dan memenggal kepalanya. Itulah Panglima Teuku Nyak Makam.

Mengapa Belanda begitu marah sehingga dalam keadaan sakit lelaki itu dipancung di tempat tidurnya? jawabannya adalah karena selama hidupnya lelaki tua itu adalah salah seorang panglima perang Aceh yang paling dicari oleh Belanda. Ia telah banyak mengalahkan pasukan Belanda dalam berbagai peperangan. Jadi, pemenggalan kepala Panglima Teuku Nyak Makam itu lebih kepada balas dendam Belanda.

Dalam buku The Dutch Colonial War In Aceh halaman 212 dijelaskan bahwa, Panglima Teuku Nyak Makam merupakan panglima perang yang diangkat oleh Sultan Aceh untuk memimpin perang melawan Belanda di wilayah timur Aceh, yakni di kawasan Aceh Timur, Langkat dan Deli (Sumatera Utara). Ia sukses menghalau pasukan Belanda di sana sehingga tidak bisa masuk ke Aceh.

Setelah sukses di sana, Panglima Teuku Nyak Makam kemudian ditarik kembali oleh Sultan Aceh ke wilayah Aceh Besar, memimpin serangan-serangan terhadap Belanda, antara lain ia dan pasukannya berhasil menyusup ke Pulau Breuh (Pulau Beras) untuk menghalau Belanda dari wilayah barat laut Aceh, karena itu pula Panglima Teuku Nyak Makam sangat ditakuti oleh Belanda.

Tapi usia dan sakit pula yang kemudian membuat sang panglima harus istirahat. Pada 1 Juli 1896 pasukan Belanda menyergapnya di rumahnya di Lam Nga dalam keadaan sakit. Kepalanya dipancung dan kemudian diawetkan oleh Belanda dalam stoples berisi air aksa, kemudian dipajangkan diberanda belakang Rumah Sakit militer Belanda di Kutaraja.

Berdasarkan keterangan dalam bukuThe Dutch Colonial War in Aceh, Panglima Teuku Nyak Makam ditangkap di rumahnya dalam keadaan sakit oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kolonel Stemfoort.

Atas peritah Kolonel Stemfoort kepala Panglima teuku Nyak Makam dipenggal selagi terbaring dalam keadaan sakit di rumanya. berdasarkan keterangan tersebut bisa disimpulkan bahwa Panglima Teuku Nyak Makam dipenggal oleh pasukannya Kapten Stemfoort, bukan oleh Stemfoort karena dia hanya memerintah saja.

Tapi keterangan lainnya dari sumber Belanda sendiri mengungkapkan bahwa, Panglima Teuku Nyak Makam tidak dipancung di tempat tidurnya, melainkan digiring dari rumahnya di Lam Nga dalam keadaan sakit ke tempat Letnan Kolonel Soeter.

Letnan Kolonel Soeter merupakan Komandan Marsose yang sering disebut sebagai pasukan "Kolone Macan" di hadapan Soeter kemudian Panglima Teuku Nyak Makam dipancung.k  Kemudian atas perintah Kolonel Stemfoort pula kepala panglima teuku nyak makam  diawetkan dalam stopes berisi air raksa sebagai tanda kemenangan. 

"With his entire family he was taken to the quarters of the culomn commandant Lieut Col Soeter, and in front of his wife and children, was beheaded. on the orders of Col Stemfoort, his head was put on display on the veranda of the military hospitan in Kutaradja as a "sign og victory".

menurut sumber ini, Kolonel Stemfoort yang memerintahkan pengawetan kepala, bukan memerintahkan pemancungan kepala Panglima Teuku Nyak Makam. Bisa jadi Letnan Kolonel Soeter dan pasukannya lah yang melakukan pemancungan.

( iskandar norman/quora.id)

Read more ...

Monday, December 20, 2021

PERANG SEMESTA KESULTANAN (NEGARA) ACHEH DARUSSALAM MENGHADAPI AGRESI INVASI BELANDA II.

Didahului dengan gerakan subversif dan pengintipan di bawah pimpinan konsulnya di Penang, G. Lavino dengan angkuh yang bercampur ketakutan Belanda mempersiapkan agressi keduanya,Setelah agresinya yang pertama gagal total.Setelah usaha Kepala Mata-Mata G. Lavino dianggap matang,maka Gubernur Jendral Belanda Loudon meng angkat Letnan Jendral J. Van Swieten menjadi Panglima Agressi kedua tentera Belanda merangkap menjadi Komisaris Pemerintah Belanda untuk Aceh.

Dalam sebuah instruksi oleh Loudon bertanggal 16 Nopember 1873, maka pada tanggal 16 Nopember 1873 berangkatlah panglima agressi kedua, Letnan Jendral J. Van Swieten menuju Aceh dengan membawa 60 buah kapal perang,yang diperlengkapi dengan 206 pucuk meriam, 22 pucuk mortir, 389 perwira, 7888 serdadu biasa, 32 orang perwira dokter, 3565 orang hukuman laki-laki yang dipaksa untuk berperang, 243 orang hukuman perempuan yang mungkin dijadikan tempat serdadu-serdadunya melampiaskan hawa nafsunya, pastor, guru agama, antek-antek kakitangannya seperti Sidi Tahil, Datok Setia Abuhasan, Mas Sumo Widikdjo, Mohammad Arsyad, Ke Beng Swie, Pie Auw, Josee Massang, Li Bieng Tjhet, Tjo Gee, SiDiman, Ramasamy, Si Kitab, Ameran, Malela dan Said Muhammad bin Abdurrahman Maysore

Pada tanggal 28 Nopember 1873 tentara kolonial Belanda di bawah pimpinan van Swieten tiba dipelabuhan Aceh dan pada tanggal 9 Desember 1873 tentara kolonial Belanda dibawah pimpinan Mayor Jendral Verspijck mendarat dipantai Kuala Lue dan besoknya berkumpul di Kuala Gigieng, dan setelah enam hari kemudian mereka baru dapat mencapai Kuala Aceh, yang kemudian menuju Peunayong dan Gampong Jawa, di mana sejak hari pertama mereka mendarat sampai direbutnya "Dalam" (keraton),

perlawanan yang didapatnya dari Angkatan Perang dan Rakyat aceh sungguh dahsyat sekalit.  Selah menderita korban yang sangat banyak, maka padat anggal 24 J an.uari 1873 bertepatan dengan 6 Zulhijjah 1290, panglima agressor Letnan Jendral J. van Swieten dapat menduduki "Istana Kerajaan" yang telah dikosongkan, di mana pada saat itu dia mengirim kawat kemenangannya kepada Gubernur Jendral Loudon di Jakarta, yang berbunyi;

"24 Januari kraton is ons stop koning en vaderland gelukgewenschtmet deze over winning" (24 J an uari kraton sudah ditangan kita titik raja dan tanah air diucapkan selamat 'atas kemenangan ini). Dân di samping kawat itu, van Swieten mengeluarkan pula sebuah proklamasi yang berbunyi : "Bahwa Kerajaan Aceh, sesuai dengan hukum-perang, menjadi hak-milik Kerajaan Belanda". Banda Aceh itu dinamainya "Kutaraja" dengan mendapat pengesahan dari Pemerintah Pusat pada tanggal 16 Maret 1874.

Setelah Istana Kerajaan ditinggalkan, maka sejumlah kira-kira 500 orang para pemimpin terkemuka mengadakan satu musyawarah kemudian mengikrarkan satu sumpah dibawah pimpinan Imeum Lungbata dan Teuku Lamnga; sumpah yang diucapkan bersama dengan suara yang mengguntur, yang menyatakan "wajib perang sabil" untuk mengusir kafir Belanda.

Atas dasar wajib jihad yang diikrarkan bersama dalam musyawarah itu, maka ulama-ulama menjadi aktif dan mengambil peranan penting, baik sebagai pemimpin perang maupun sebagai pengawas koordinasi perlawanan total rakyat terhadap Belanda

Musyawarah tersebut mengahasilkan keputusan2 Untuk rakyat sebagai berikut; 

  1. Sifat jihad, rakyat yang diwajibkan turut serta memanggul senapang atau kelewang (tegasnya bertempur) adalah mereka yang sudah menyatakan sukarela untuk ambil bahagian langsung
  2. Rakyat diwajibkan gotong-royong untuk segera memperbaiki mesjid yang rusak akibat perang supaya kewajiban ibadat tetap terpelihara
  3. Rakyat diwajibkan gotong-royong untuk bersama-sama mengatasi akibat perang ;
  4. Dalam masa perang dilarang mengadakan pertemuan-pertemuan sukaria yang tiada bertalian dengan agama, seperti seudati dan yang seperti itu
  5. Setiap yang membutuhkan bantuan, wajib diberi bantuan oleh penduduk, terutama jika mereka memerlukan pemondokan dan persembunyian ;
  6. Apabila diperlukan untuk membikin benteng (kuta), rakyat diwajibkan bergotong-royong ;
  7. Ulama setempat berwenang memberikan bantuan dan/atau menerima pengaduan-pengaduan rakyat di dalam mengatasi kesulitan yang dideritanya.

Disamping konslidasi didalam negeri Kerajaan Aceh juga menguatkan diplomasi luar negeri yang berkedudukan di pulau penang oleh Dewan delapan yang diketuai oleh Teuku paya. Dengan suratnya yang bertanggal 20 Muharram 1291 (8 Maret 1874), dari Penang Dewan Delapan melaporkan kepada Kerajaan Aceh Darussalam melalui Panglima Polem Muda perkasa laporan antara lain;

"Bersama ini kami menyampaikan perkabaran dari Penang, bahwa pada dewasa ini hal ikhwal antara kerajaan negeri Aceh dengan negeri Belanda telah menjadi masalah negeri-negeri besar di Eropah. Terutama dengan bantuan kerajaan ratu Victoria negeri Inggeris, dengan campur tangan negeri Eropah, mudahmudahan pengepungan dilaut dalam dua bulan ini akan dicabut. Demikian kami mendapat kabar.

Kamipun ingin mengabarkan juga bahwa Perdana menteri Inggeris bernama Gladstone sudah diganti oleh Perdana Menteri baru yang bernama Disraeli, Gladstone dijatuhkan karena terlalu menyebelah Belanda. Sedangkan sebaliknya Disraeli bukanlah sahabat Belanda.

Belanda sendiri pada waktu ini mengalami kesusahan uang. Kopi yang belum sampai (masih dalam perjalanan) sudah dijual murah-murah, sebab Belanda kekurangan uang. Selain daripada itu luas tersiar kabar bahwa Belanda telah banyak sekali tewas di dalam pertempuran. Jumlahnya 7000 orang. Demikian juga jendral-jendralnya, dan sejumlah 27 opsir yang berpangkat tinggi-tinggi mati, dan ada seorang panglima bernama Nono Bixio dan ada pula seorang pangeran Jawa turut tewas.(muhammad said.ASA) surat laporan tersebut disambut dengan hangat dan membangkitkan semangat juang rakyat Aceh untuk berjihad mengusir kaphe Belanda ditanah indatu.adifa

Di Lamsie, Aceh Besar, diadakan rapat rahasia yang dihadiri oleh Teuku Panglima Polem, Teungku Tjhik Abdul Wahab Tanoh Abee dan sejumlah ulama-ulama dan ulebalang-ulebalang yang belum menyerah kepada kompeni Belanda. Yang menjadi acara perundingan, yaitu menggiatkan perang jihad untuk mengusir Belanda

Dalam rapat itu Teungku Tjhik Abdul Wahab Tanoh Abe menegaskan bahwa tenaga perjuangan masih belum hancur seluruhnya, tetapi yang sudah kurang yaitu kesucian batin dan kekuatan iman, yang akhirnya beliau menutup nasehatnya dengan kata-kata yang sangat berkesan: "Sebelum kita memerangi musuh lahir, perangilah musuh batin dahulu, yaitu hawa nafsu. Harta rakyat yang ada pada kita masing-masing yang telah diambil karena menurut hawa nafsu, serahkanlah kembali dengan segera.

Janganlah rakyat itu selalu ' teraniaya, tegakkanlah keadilan di tengah-tengah kita terlebih dahulu, sebelum kita minta keadilan pada orang lain.  Dari itu tobatlah wahai teuku-teuku dahulu sebelum mengajak rakyat memerangi kompeni. Kalau tidak juga dikembalikan harta rakyat yang diambil dengan jalan yang tidak sah, yakinlah rakyat akan membelakangi kita dan kita akan tersapu bersih dari Aceh ini, melebihi dari yang sudah-sudah. Kalau yang saya minta teuku-teuku penuhi, maka saya akan bersama-sama teuku-teuku kemedan perang. Bila tidak, saya dan murid-murid saya jangan dibawa serta Nasehat Teungku Tjhik Tanoh Abee ini dikuatkan oleh Teuku Panglima Polem, yang menganjurkan agar semua hulubalang kembali kepada ajaran Allah(ismail jacob,tgk chik ditiro)

Kaum mujahid yang bergerak sekitar Lembah Seulawah berkumpul mengadakan rapat rahasia di Gunung Biram, Seulimeum. Dalam rapat tersebut, kecuali membicarakan masalah taktik dan strategi perang gerilya melawan serdadu-serdadu Belanda, juga diputuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Pidie untuk menemui Teungku Tjhik Dayah Tjut Tiro, yaitu Teungku Muhammad Amin, seorang ulama yang amat besar pengaruhnya.

Dalam suatu pertemuan dengan para Ulama dan pemimpin rakyat terkemuka di Tiro yang dipimpin oleh Teungku Tjhik Muhammad Amin Dayah Tjut, delegasi dari Gunung Biram mengemukakan kegawatan yang sedang melanda Aceh Besar, sehingga rapat akhirnya memutuskan untuk membantu perang ke Aceh Besar dengan mengirim sejumlah Ulama dibawah pimpinan kemenakan Teungku Tjhik Dayah Tjut sendiri, yaitu Teungku Haji Muhammad Saman yang baru kembali dari Mekkah, yang kemudian namanya termasyhur dengan "Teungku Tjhik di Tiro". Teungku Haji Muhammad Saman tidak saja mendapat mandat dan restu dari pamannya Teungku Tjhik Dayah Tjut, juga Sulthan yang sudah berkedudukan di Keumala Dalam memberi kuasa kepadanya untuk memimpin "Perang Sabil" melawan Belanda, dengan mengangkat beliau menjadi Wazir Sulthan.(anthony reid,the contest for nort sum)

Perang Sabil yang dilancarkan Rakyat Aceh di bawah pimpinan para Ulama, di mana Teungku Tjhik di Tiro duduk sebagai pemimpin tertinggi, benar-benar telah memusingkan kepala pimpinan Angkatan Perang Hindia Belanda yang sedang mabuk menang perang, seperti yang digambarkan Hazil (Hazil : Teuku Umar Dan Tjut Njak Dhien)

Teungku Tjhik di Tiro Syekh Saman dan barisan sabilnya yang berjumlah 6000 orang menghebatkan serangan atas garis konsentrasi.Ia telah mendirikan benteng-benteng yang berderet letaknya, seolah-olah mengurung kompeni dalam garis konsentrasinya. Benteng-benteng ini memungkinkan bagi lasykarnya melakukan aksi sewaktu-waktu. 

Dari benteng-benteng ini keluar gerombolan-gerombolan,yang menyeberangi garis demarkasi kompeni yang lebarnya 1000 m. itu dan sampai ke batas pagar-besi kompeni. Berbagai gerombolan berhasil menyusup liwat pagar besi sampai ke tengah-tengah daerah musuh dan mengamuk di sana. Banyak bencana yang mereka sebabkan; juga kaum wanita masuk ke dalam benteng musuh, dengan menyamar seperti penjual makanan di siang hari dan pejuang gerilya di waktu malam. Kian besar kemenangan mereka, kian hebat pula anjuran kaum penyair untuk melakukan perang sabil.

Teungku di Tiro juga menulis surat kepada residen van Langen, memajukan syarat-syarat atas mana perdamaian di Aceh dapat dilaksanakan, bunyinya antara lain ;

"Setahun yang lalu kami dalam sebuah surat kepada Tuan tentang mengadakan perdamaian memajukan dengan tegas syarat kami : demi Tuan Besar masuk dalam agama Islam dengan mengucapkan Syahadat, maka kami sudi mengadakan perjanjian dengan Tuan" demikian mulai surat Ulama yang masyhur itu. Ia menguraikan pula betapa lemah kedudukan Kompeni sejak ia mengurung diri dalam daerah konsentrasi : "Tapi hingga sekarang kami tidak mendapat balasan dari Tuan atas surat kami. Sesungguhnya, apabila Tuan-Tuan memeluk agama Islam dan mengikuti Sunnah Rasul Allah, ini adalah yang sebaik-baiknya bagi Tuan-Tuan. Tuan akan selamat di dunia, tidak akan menderita bahaya dan ancaman dibunuh, tidak dihinakan harus lari menyelamatkan diri liwat sawah-sawah, pipa air, hutan dan jalan; sedangkan sekarang kehinaan yang sebesar-besarnya menanti Tuan, yakni bahwa Kompeni harus meninggalkan

Aceh seluruhnya, miliknya dirampas semuanya oleh tangan kaum Muslimin Aceh yang miskin dan lemah ini ! Malapetaka yang paling besar masih menanti Tuan; ialah hukuman hari kiamat, yakni di Neraka, menurut hukum Tuhan Seru Sekalian Alam !".

Untuk menjawab tuntutan dan syarat2 yang diajukan oleh Teungku tjik Ditiro,Belanda melalui menteri Daerah Jajahan Keuchenius pada tahun 1888 menulis pada Geubernur Jendral di Buitenzorg(bogor) sbb; "Tuntutan yang tidak benar, bahwa kita harus masuk agama Islam, agaknya akan diakui juga oleh Teungku di Tiro, kalau ia membaca ayat 257 Sura ke-II dari Qur-an yang berbunyi : "Janganlah ada paksaan dalam agama; siapa yang menyangkal tahyul dan percaya Allah, dialah bersandar pada tongkat yang tidak akan patah-patah

Dari jawab menteri ini terbukti, betapa Pemerintah Belanda menyegani musuhnya. Sebaliknya Belanda merasa malu terhadap luar-negeri, karena Aceh dalam masa 15 tahun belum tunduktunduk saja, sedangkan di lain bagian di dunia kekuasaan penjajah semakin kokoh(Kamp te Aden met troepen bestemd voor de tweede expeditie naar Atjeh, juli 1873.1873 expedition du kraton residence du sultan par l armée néerlandaise EXPEDITION D ATSCHIN)

.source ; adi fa Atjeh Gallery

Read more ...

Sunday, December 19, 2021

RAGAM DAAR DI BAITURRAHMAN

Mesjid Raya Baiturrahman bukan hanya sebagai tempat peribadatan, tapi juga pusat pendidikan. Berbagai kajian ilmu dilakukan di 17 fakultas (daar). Hal yang kemudian membuat Aceh menjadi kiblat pendidikan di Asia Tenggara. 

Kejayaan Baiturrahman sebagai pusat pendidikan terjadi pada awal abad XIV hingga abad XVII. Selain Baiturrahman, ada lembaga pendidikan tinggi di pusat Kerajaan Aceh yakni Baiturrahim dan Baitulmusyahadah.

M Junus Djamil dalam Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh (1968) menjelaskan, mesjid jami’ Baiturrahman dibangun oleh Sulthan Alaiddin Mahmud Syah I pada tahun 691 hijriah (1229 M). Bangunan mesjid kemudian diperluas oleh raja-raja selanjutnya.

Dalam perkembangannya, mesjid ini menjadi pusat pendidikan dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan. Para pengajar selain dari ulama-ulama Aceh, juga didatangkan dari Turki, Arab, Persia, dan India.

Begitu juga dengan pendidikan di Mesjid Baiturrahim. Mesjid ini dibangun pada tahun 1016 hijriah (1607 M) oleh Sulthan Iskandar Muda dalam komplek istana kerajaan yang disebut Dalam Darud Dunia.

Wazir Rama Setia (Sekretaris Kerajaa) Aceh, Said Abdullah Di Meulek dalam Qanun Meukuta Alam halaman 71 menjelaskan, Mesjid Baiturrahim dijadikan sebagai pusat kajian ilmu pengetahuan di lingkungan istana. Keberadaanya ditopang oleh balai setia hukama, balai setia ulama, dan balai jamaah himpunan ulama. Di tiga lembaga ini para ulama membahas dan mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan.

Sementara Mesjid Baitul Musyahadah, sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad (1961) dibangun oleh Sulthan Iskandar Tsani dalam komplek Kraton Kuta Alam pada tahun 1046 hijriah (1637 M). Mesjid ini dibangun sebagai pusat pendidikan ketiga di Kerajaan Aceh.

Namun, dari ketiga mesjid pusat pendidikan tersebut, Mesjid Baiturrahman yang paling banyak membuka fakultas (daar) yakni 17 Fakultas (lihat boks) dan dibuka untuk para penuntut ilmu dari manca negara.

Untuk bisa mengikuti pendidikan di Baiturrahman, terlebih dahulu harus menempuh jenjang pendidikan di bawahnya. Jenjang itu dimulai dari madrasah (meunasah) di gampong-gampong sebagai lembaga pendidikan paling rendah. Pada jenjang pendidikan ini hanya diajarkan membaca dan menulis dengan aksara Arab, ahklak, ilmu agama, dan bahasa jawi (Melayu).

Tamat di madrasah dilanjutkan ke rangkang, asrama pendidikan di mesjid kemukiman. Imum Mukim bertugas mengelola lembaga pendidikan ini. Said Abdullah di Meulek menjelaskan, dalam Qanun Meukuta Alam mewajibkan tiap-tiap mukim membangun satu mesjid. Sama halnya seperti tiap-tiap gampong harus ada satu meunasah.

Rangkang merupakan lembaga pendidikan tingkat menengah pertama. Pelajar umumnya mondok di lingkungan mesjid selama mengikuti pendidikan. Hal inilah yang membuat Imum Mukim diharuskan membangun rangkang sebagai asrama bagi pelajar. Pendidikan pada tingkat ini mulai diajarkan bahasa Arab. Sebagian kitab-kitab ajaran juga berbahasa Arab, juga mulai diajarkan ilmu umum, sejarah, ilmu bumi, dan ahklak.

Tingkat pendidikan lanjutan dari rangkang disebut dawiyah atau dayah. Sulthan Aceh mewajibkan di setiap daerah federasi uleebalang membangun satu dayah sebagai lembaga pendidikan. Ada dayah yang berpusat di mesjid-mesjid, ada juga yang berdiri sendiri di luar kepengurusan mesjid.

Kabanyakan dayah berdiri sendiri. Pimpinan dayah biasanya membangun sebuah ruang utama sebagai aula tempat kuliah umum disampaikan, sekaligus sebagai tempat santri shalat berjamaah. Pada tingkat dayah, semua materi pelajaran disampaikan dalam bahasa Arab. Ilmu yang diajarkan antara lain: fiqh (ilmu hukum), tauhid, tasawuf, ahklak, sejarah, ilmu bumi, ilmu tata negara, faraidl (ilmu pasti).

Setelah tamat di dayah, santri sudah bisa melanjutkan pendidikan ke dayah teungku chik. Disebut dayah teungku syik karena dipimpin oleh ulama. Pendidikan pada tingkat ini setara dengan perguruan tinggi sekarang. Pada tingkat ini, materi pendidikan sudah meliputi: fiqh (hukum), tafsir, hadis, tauhid, filsafat, tasauf, mantik, dan ilmu falak (astronomi). Lulusan pendidikan pada tingkat ini berhak menyandang lakab (sebutan) ulama muda.

Kemudian untuk tingkat master dan doktoral yang melahirkan sarjana bergelar Teungku Chik (ulama) ada di Jamiah Baiturrahman. Para pengajar di jenjang pendidikan tinggi ini sebagian besar merupakan ulama-ulama Aceh yang telah menempuh pendidikan di Timur Tengah yang telah berhak menyandang gelar syekh.

Mesjid Raya Baiturrahman bukan hanya sebagai jamiah (universitas), tapi juga benteng pertahahan. Ketika agresi Belanda, Maret 1973, perang sengit terjadi di mesjid ini. Di sini pula pimpinan agresi pertama Belanda Mayor JHR Kohler tewas ditembak pejuang Aceh.

Namun, pada invansi Belanda kedua, Mesjid Raya Baiturrahman berhasil direbut dan dibakar oleh Belanda. Pembakaran itu dilakukan oleh pasukan pimpinan Van Swieten pada 6 Januari 1874. Saat itu pasukan Aceh di bawah pimpinan Tuanku Hasyim Banta Muda dan Teungku Imum Lueng Bata tidak dapat mempertahankan mesjid raya.

T Ibrahim Alfian dalam Mengenal Masyarakat Aceh yang Sedang Membangun (1976) mengungkapkan, perang di Mesjid Raya Baiturrahman menewaskan 14 tentara dan 11opsir Belanda, serta 197 infantri luka-luka.

Untuk merebut hati masyarakat Aceh, Belanda kemudian membangun kembali Mesjid Raya Baiturrahman. Rancangan mesjid dibuat oleh arsitek Bruins dari Departement van Burgelijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum) di Batavia.

Bruins bekerja sama dengan Opdizchter LP Luyks dan beberapa insinyur lainnya. Mereka dibantu oleh seorang Penghulu Besar Garut agar pola mesjid yang akan dibangun tidak bertentangan dengan aturan-aturan Islam. Semua tahap pembangunan kembali Mesjid Raya Baiturrahman diabadikan oleh J Staal dalam buku De Missigit Raija in Atjeh. Buku ini diterbitkan oleh De Indiche Gids pada tahun 1882.

Tentang pembangunan kembali Mesjid Raya Baiturrahman juga ditulis J Kremeer dalam “De Groote Moskee te Koeta Radja” yang dimuat dalam Nederlandsch Indie Ouden Nieuw, tahun 1920.

Belanda berusaha membangun mesjid raya untuk member kesan baik bagi orang Aceh, dan itu tidak mudah. Pembangunan mesjid raya terkendala minimnya tenaga kerja. Orang Aceh tidak mau bekerja pada proyek Belanda tersebut, mereka lebih memilih jalan perang. Akhirnya Belanda memakai tenaga kerja dari Cina.

Tapi masalah lain kemudian muncul, para kontraktor (pemborong) di Jawa tidak bersedia ikut proyek itu karena perang di Aceh masih berkecamuk. Hanya satu kontraktor yang memasukkan penawaran, yakni Lie A Sie, seorang Letnan Cina di Aceh. Ia memperoleh borongan untuk membangun Mesjid Raya Baiturrahman dengan anggaran f.203.000. Dengan uang sebesar itu, ia mengimpor bahan-bahan bangunan dari luar negeri

Kapur didatangkan dari Pulau Pinang, Batu bata dari Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai dari Tiongkok (Cina), besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Moulmein (Birma). Hanya kerangka besi yang berasal dari Surabaya.

Peletakan batu pertama pembangunan Mesjid Raya Baiturrahman dilakukan di hadapan Jenderan Van Der Heyden. Sementara serah terima mesjid dilakukan pada 27 Desember 1881 dengan perhelatan sebuah kenduri besar. Kunci mesjid diserahkan kepada T Kali Malikul Adil oleh Gubernur A Pruys van Der Hoeven yang diiringi dengan 13 kali tembakan meriam. Sementara pengurusan mesjid diserahkan kepada Teungku Syeh Marhaban ulama besar dari Pidie.

Fakultas (Daar) di Mesjid Jami’ Baiturrahman

Dalam majalah Sinar Darussalam nomor 17 edisi September 1969 halaman 9 dirincikan, ada 17 fakultas yang pernah dikembangkan di Mesjid Jami’ Baiturrahman, yakni:

· Darut Tafsir wal Hadis (Fakultas Ilmu Tafsir dan Hadis)

· Darut Thib (Fakultas Kedokteran)

· Darut Tarikh (Fakultas Sejarah)

· Darul Hisab (Fakultas Ilmu Pasti)

· Darus Siyasah (Fakultas Ilmu Politik)

· Darul Aqli (Fakultas Ilmu Akan/Ilmu Alam)

· Daruz Zira’ah (Fakultas Pertanian)

· Darul Ahkam (Fakultas Hukum)

· Darul Falsafah (Fakultas Filsafat)

· Darul Kalam (Fakultas Ilmu Kalam/Tauhid)

· Darul Wizarah (Fakultas Ilmu Pemerintahan)

· Darul Kimia (Fakultas Ilmu Kimia)

· Darul Khasanah Baitul Mal (Fakultas Ilmu Perbendaharaan/Keuangan Kerajaan)

· Darul Ardli (Fakultas Ilmu Pertambangan)

· Darul Nahwu (Fakultas Ilmu Nahu)

· Darul Mazahib (Fakultas Ilmu Perbandingan Agama)

· Darul Harb (Fakultas Ilmu Peperangan)

By. [Iskandar Norman]

Read more ...

Monday, December 13, 2021

MENGAPA RAKYAT ACEH GEMAR BERPERANG?

Mengapa rakyat Aceh gemar berperang? Untuk menjawab pertanyaan ini, harus kita tahu dulu apa yang menyebabkan rakyat Aceh sering berperang, serta siapa yang pertama kali membentuk kekuatan militer di Aceh? Dari sana nanti kita akan tahu mengapa watak rakyat Aceh seperti itu.

Perdapat pertama saya kutip dari Prof Teuku Ibrahim Alfian dalam buku Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah. Guru besar dari Universitas Gajah Mada (UGM) ini. menjelaskan:

“...Pengalaman Aceh dalam bidang peperangan, baik di darat maupun di laut, adalah memadai. Ali Mughayat Syah adalah seorang yang mampu membentuk tentara militer yang efektif...”

Jadi, militer Kerajaan Aceh itu sudah kuat sejak Pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah yang memerintah Keraaan Aceh pada tahun 1511 hingga 1530. Dengan militer bentukannya, keberhasilan pertama yang diperoleh Sulthan Ali Mughayat Syah adalah menaklukkan daerah Sumatera Utara. Setelah itu mencoba membebaskan semenanjung Malaka dari Portugis. Tapi usaha menyerang Malaka pada 1529, gagal karena rahasia kerja sama antara Syahbandar Malaka dengan pihak Aceh bocor kepada pihak Portugis.

Ketika Sulthan Alauddin Riayat Syah Al Kahar berkuasa (1537 – 1571), ia memperluas angkatan bersenjata. Kekuatan militer Kerajaan Aceh waktu itu disokong oleh persedian emas yang memadai. Saat itu di Aceh juga sudah dikenal tentara asing, tentara-tentara sewaan yang bekerja pada militer Kerajaan Aceh. Tentang ini ditulis oleh penulis pelawat Portugis, Mendez Pinto. Ia mengaku pernah melihat tentara Aceh mempunyai pasukan-pasukan yang benar-benar terdiri dari orang-orang Turki, Cambay, Malabari, dan Abbesynia. Terdapat pula prajurit-prajurit dari Luzon dan Kalimantan.

Pada tahun 1539, tentara Kerajaan Aceh berperang melawan orang-orang Batak untuk memasukkan mereka dalam agama Islam. Saat itu Sulthan Alauddin juga menaklukkan Aru. Ia menyebut dirinya sebagai Raja Aceh, Barus, Pidie, Daya dan Batak, serta pangeran dari kedua lautan dan dari tambang-tambang Minangkabau.

Tapi pada tahun 1540, Raja Johor mampu mengusir pasukan Kerajaan Aceh dari Aru. Kemudian pada tahun 1564 Aceh menaklukkannya kembali. Dan pada tahun itu juga militer Kerajaan Aceh menghantam Johor dan membawa rajanya sebagai tawanan ke Aceh.

Pada tahun-tahun selanjutnya, 1537, 1547 dan 1568, tentara Kerajaan Aceh menyerang Malaka dengan kekuatan besar. Dan dalam penyerangan ketiga ini kekuatan pasukan Aceh terdiri dari 15.000 prajurit Aceh, 400 orang prajurit dari Turki, 200 buah meriam besar dan kecil. Kemudian pada tahun 1573 dan 1575 Malaka diserang kembali. Pada tahun itu juga ditaklukkan Perak di Semenanjung Tanah Melayu.

Perang dengan Amerika Serikat. Aceh juga pernah berperang dengan Amerika Serikat gara-gara persoalan dagang. Bisa dibaca dalam buku Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh. Buku yang ditulis oleh M Nur El Ibrahimy ini, diterbitkan oleh Gramedia Widisarana Indonesia (Grasindo), Jakarta, 1993.

Dalam buku itu dijelaskan, hubungan baik Aceh dan Amerika yang sudah terjalin sejak 1789 Maskapai dagang Amerika Serikat datang dari kota-kota pelabuhan seperti Salem, Boston, New York, Beverly, Philadelphia, Marlbehead, New Bedford, Baltimore, Gloucester, Newbury Port, Fall River, dan Pepperelborough.

Tapi kecurangan timbangan yang dilakukan pedagan Amerika Serikat membuat masalah. Pada 7 Februari 1831 sebuah kapal Amerika Friendship dirompak dan mengalami kerugian sekitar US$ 50.000,00 dari peristiwa itu, tiga orang anak buah kapal tersebut juga tewas.

Menteri Angkatan Laut Amerika, Levy Woodbury melakukan konsultasi dengan Presiden Jackson pada 21 Juli 1831 untuk menyelidiki persoalan tersebut. Kapal Potomac yang akan berlayar ke Inggris, membawa Menteri Luar Negeri Van Buren dialihtugaskan Presiden Jackson ke Aceh.

Atas provokasi Belanda, Kapten Kapal Potomac yang membawa 260 orang pasukan marinir Amerika menyerang Aceh. Perang pun pecah di Kuala Batu. Pada 6 Februari 1832.

Perang dengan Belanda. Belanda yang sudah dua setengah abad menguasai nusantara, tidak dapat menguasai Aceh. Karena itu sebagai pintu Selat Malaka Aceh harus ditaklukkan. Belanda berperang sampai 69 tahun di Aceh dari tahun 1873 hingga 1942. Tapi Aceh tidak bisa ditaklukkan.

Ketika agresi kedua Belanda, seluruh daerah di Indonesia sudah dikuasai kembali, ibu kota dan pusat pemerintahan Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditawan, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi tidak jalan. Aceh satu-satunya yang tak bisa dimasuki Sekutu/NICA, karena itu Presiden Soekarno menjuluki Aceh sebagai Daerah Modal Perjuangan Kemerdekaan.

Perang DI/TII dan GAM. Aceh yang dikhianati Presiden Soekarno memberontak, rakyat Aceh kembali terlibat perang selama sembilan tahun pemberontakan DI/TII, sebelum kemudian Presiden Soekarno berdamai dengan Aceh dan memberi Aceh status Daerah Istimewa.

Tapi pada tahun 1976 pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kembali meletus di Aceh. Kekayaan Aceh (minyak dan gas Arun) yang dikeruk pemerintah menjadi penyebab. Aceh tidak memperoleh hak dan bagian yang wajar, padahal Migas Arun merupakan penyumbang devisa terbesar Indonesia pada masanya.

Rakyat Aceh harus berperang dengan Pemerintah Republik Indonesia selam 29 tahun (1976 hingga 2005) untuk memperolah hak yang wajar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian juga memilih jalan damai. Berdamai dengan pimpinan GAM di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005. Aceh pun mendapat dana Migas dan dana Otonomi Khusus (Otsus). Aceh memiliki undang-undang tersediri yakni UU No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

By. Al Samawi

Read more ...

Saturday, December 11, 2021

Makam Keluarga Kerajaan Aceh.

Makam Kandang XII yang merupakan tempat peristirahatan terakhir para Raja Aceh terletak di Asrama Keuraton Keucamatan Baiturrahman, atau disisi Barat Pendopo Gubernur Aceh menjadi saksi atas kemegahan Kerajaan Aceh sejak zaman dahulu. Makam yang berada di samping Mesjid Al-Fitrah Asrama keuraton ini tidak jauh dari pusat kota, berjarak 500 meter dari Mesjid Raya Baiturrahman. 

Jalan ke sana bisa di tempuh melalui jalan kecil di samping tempat pembelanjaan Barata atau melalui jalan Perwira. Luas Makam Kandang XII sekitar 214 M2 serta mulai di pugar oleh pemerintah melalui proyek purbakala tahun 1978 M.

Terdapat 12 Makam Sultan Aceh beserta keluarganya, tetapi hanya enam makam yang terdata dan ada keterangannya, sedangkan enam makam lagi tidak ada keterangannya tidak tahu mengapa demikian, diantaranya :Sultan Syamsu Syah memerintah tahun 1497-1514 Masehi, Sultan Ali Mughayat Syah memerintah tahun 1514-1530 Masehi, Sultan Salahuddin Ibnu Ali Mughayat Syah memerintah tahun 1530-1537 Masehi, Sultan Ali Riayat Syah Al-Qahar memerintah tahun 1537-1568 masehi, Sultan Husain Syah Ibnu Sultan Ali Riayat Syah Al-Qahar memerintah tahun 1568-1575 Masehi, Malikul Adil tahun 1641-1676 Masehi, hidup pada masa pemerintahan Ratu Tadjul Alam.

Di Makam Kandang XII ini juga terdapat Makam Sultan Ali Mughayat Syah, yang merupakan Raja Aceh yang memerintah pada tahun 1514-1530. Sultan Ali Mughayat Syah berhasil mengusir Protugis di Selat Malaka yang hendak menyerang wilayah kekuasaan Aceh, Kerajaan Aru (Sumatera Timur), Pasai, Pedir, dan Daya hingga Barus (Tapanuli Tengah). Makam Kandang XII ini juga menjadi bukti sejarah bahwa Aceh pada zaman dahulu sudah kaya akan seninya. Terlihat jelas pada ukiran-ukiran Arab pada batu nisan tersebut, dengan nisan yang bertingkat-tingkat dan bentuk nisan yang beragam.

Disudut sebelah Barat Makam Kandang XII bertabur bunga melati yang indah, makam tersusun rapi dengan tiang penomoran disetiap Makamnya yang berjumlah 12 Makam. Makam Kandang XII juga terdapat atap-atap yang menutupi Makam sehingga tidak terkena hujan dan panas. Suasana disana sangat teduh dan nyaman.


Makam Raja-Raja Aceh Darussalam dan keluarga.

Tidak jauh dari Makam Kandang XII, terdapat Kompleks Makam keluarga kerajaan Aceh. Makam Keluarga Kerajaan Aceh ini satu perkarangan dengan Makam Kandang Meuh dan Makam Sultan Iskandar Muda. Berdekatan juga dengan pendopo Gubernur Aceh dan Museum Aceh. Ada pun nama-nama keluarga kerajaan Aceh yang di makamkan disini yaitu : Pocut Rumoh Geudong / Meurah Limpah / Pocut Lam Seupeung / Isteri nomor tiga Ibu nomor delapan, Pocut Sri Banun anak nomor tiga, Sultan Alauddin Ibrahim Mansyur Syah (1836-1870), Sultan Alauddin Muhammad Syah (1781-1795) Merhom Geudong, Sultan Husin Jauhar Al-Alam Syah (1795-1824), Putro Bincu Ibu nomor lima, Tuanku Husin Pangeran Ahom nomor tiga (wakil kerajaan Aceh Deli), Tuanku Cut Zainal Abidin ayah dari Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah II (1874-1903), Teungku Chik kakak nomor tiga, sedangkan Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah Mangkat di Jakarta 6 Februari 1939 dalam internerling (pengasingan) oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Selanjutnya disamping Makam Keluarga Kerajaan terdapat Makam Kandang Meuh. Makam Kandang Meuh berdekatan dengan makam Sultan Iskandar Muda, yang terdapat pada komplek makam kandang meuh adalah makam sultan dan ulama, antara lain makam Sultan Mahmud Syah. Adapun yang dimakamkan dalam komplek kandang meuh, antara lain :Putri Raja anak Bangka Hulu, Sultan Alauddin MahmudSyah (1760-1764 M), Raja perempuan Darussalam, Tuanku Zainal Abidin dan keluarga Sultan lainnya. 

Jumlah makam yang ada dalam kompleks makam kandang meuh terdiri atas 10 buah, tipe makam yang ada menunjukkan 2 tipe nisan, serta makam semu dengan tipe lempengan batu segi empat, di bagian sisi makam tampak berpola hias kotak-kotak segi empat yang sudah di cat. Pada permukaan makam terdapat dua buah nisan yang di tancapkan dengan orientasi utara selatan. Secara keseluruhan dalam kompleks ini terdapat dua tipe nisan.

Yang pertama bentuk nisan pipih penataan bahu, di bagian bawah nisan bentuk segi empat pola hias bunga lidah api, bagian badan makam terdapat sulur-sulur daun bunga lidah api, kotak-kotak segi empat bermotif belah ketupat saling kait mengkait dan di puncak nisan bentuk mahkota bersususn tiga. Bentuk nisan gada segi enam, di bagian bawah nisan bentuk segi empat pola hias bunga lidah api bagian badan nisan pola hias bunga lidah api bentuk belah ketupat saling kait mengkait, di bagian puncak nisan terdapat kuncup bunga teratai.

Read more ...

Friday, December 10, 2021

MODERASI BUKAN MEMBANGUN KEBENCIAN SESAMA

Sy memandang tagline "moderasi beragama" sebagai krisis toleransi beragama di Indonesia. Lagi-lagi Islam seolah menjadi pemeran antagonis dalam kisah toleransi tersebut. Moderasi beragama menjadi isu sentral sehingga akan masuk ke kurikulum. Untuk menangkal radikalisme, sy paham dan permisif. Tapi jika kemudian menjadikan bahwa semua agama sama, tentu saja sy menentang keras. Buat apa beraqidah jika semua agama sama.

Sy tidak paham jika seorang yg tidak pantas disebut ulama diundang oleh Mabes Polri pada Juni 2021 untuk berbicara moderasi beragama dalam konteks ummat Islam. Syakur Yasin tidak mewakili keilmiahan Islam dan pemahaman penafsiran Al-Quran nya bukan saja rendah bahkan sesat.

Dia menafsirkan bahwa Islam agama yang belum sempurna karena di dunia tidak ada yang sempurna, sungguh pemahaman yang dangkal. Surat Al-Maidah ayat 3 ditafsirkan sebagai sudah paripurnanya tugas Muhammad sebagai Rasul, bukan agama Islam yang sempurna. Anda salah kakek Kur, tugas kenabian Rasulullah pun masih ada setelah ayat tersebut.

Ayat tersebut bukanlah yang terakhir. Rasulullah masih menerima wahyu 9 hari menjelang wafatnya. Sementara Al-Maidah ayat 3 turun saat Rasulullah jelang wafat 81 hari lagi. Ayat tersebut memparipurnakan Aqidah Muslim untuk tidak bercampur baur dengan kaum musyrik. Sebagian menafsirkan Ibadah Haji sebagai penyempurna serangkaian ibadah Islam.

Sumber : https://tafsiralquran.id/menepis-anggapan-al-yawma-akmaltu-lakum-dinakum-sebagai-ayat-yang-terakhir-turun/

Lanjutan pernyataan Syakur menyebut bahwa terjadi pergolakan politik antara Abubakar RA dan Ali bin Abi Thalib RA dalam melanjutkan estafet kepemimpinan pasca wafat Rasulullah. Bahkan kafan Rasulullah pun hampir tidak ada yang mengurusi. Jujur, sy anggap anda tidak literat lalu asal bunyi. Antara Khalifaur Rasyidin dalam.pergantian estafet kepemimpinan tidak ada peristiwa kudeta. Semua penuh perkaderan. Gaya kepemimpinan masing2  Khalifah memberi nuansa edukatif bagi Ummat Muslim setelahnya. Abubakar nan bijaksana didukung semua Khalifaur Rasyidin. Begitu pula sang tegas Umar bin Khatab, Ekonom Ustman bin Affan dan sang jenius Ali bin Abi Thalib. 

Rasulullah mewarisi kestabilan dalam 4 Khalifahnya. Setelah itu, terjadi pergolakan hingga saat ini, seluruh agama pun mengalami hal yang sama. Qadarullah untuk nuansa kehidupan berpolitik. 

Referensi sy dalam Sirah Nabawiyah bukan dari pengarang muslim Kur. Sy rajin membaca buku Karen Armstrong, karena dia melakukan riset, bukan sekedar fanatik.

Kembali pada kisah Islam bukan agama sempurna karena tidak ada yang sempurna di muka bumi. Sungguh itu mengusik rasa keimanan seseorang. Sy meyakini, dua hal yang sempurna di bumi ini, Tuhan dan Agama. Karena itu, kita berharap sesuatu yang besar menutupi ketidaksempurnaan yang kita miliki. Agama sebagai pedoman dan Allah sebagai satu2nya penolong. Bagaimana mungkin kita mengimani sesuatu yang tidak sempurna. Tidak semua logika bisa dicocokologi dalam beragama. Kita pasti percaya Isra Mi'raj yang di luar nalar karena kita yakin kesempurnaan agama.

Kaum non muslim pun, semisal Nasrani meyakini bahwa jalan Tuhan mereka sebagai bentuk agama sempurna bagi mereka. Sehingga mereka tidak mengimani Muhammad, karena sudah sempurnalah yesus bagi agama mereka. Begitu pula dengan agama lain.

Sy hanya berharap pemerintah, mabes polri, atau instansi apapun dalam pemerintahan carilah narasumber yang kompeten sehingga tidak menjadi runyam. Moderasi beragama mungkin perlu, tapi mengundang seseorang yang minim pengetahuan keagamaan malah bikin runyam kehidupan beragama.

Sy setuju tindakan radikalisme tidak dibenarkan dalam agama. Namun mengatakan agama Islam tidak sempurna tentu saja melukai keimanan sy sebagai ummat Muslim.

By:Kharuddi Budiman

Read more ...
Designed Template By Blogger Templates - Powered by Sagusablog