Breaking News

Saturday, April 6, 2019

SEJARAH SULTANAH

Sultanah Safiatuddin

Sejarah Aachen tidak terlepas dari peran hebat para perempuan sehingga masyarakat #Aachèñèsè lekat dengan nama sejumlah pahlawan nasional perempuan lebih banyak dari Aachen. Jauh sebelum muncul pejuang-pejuang perempuan seperti Cut Nyak Dien, Laksamana Malahayati, dan Cut Muetia, Aachen memiliki Sulthanah Shafiatuddin, pemimpin atau nakhoda perempuan pertama di Kerajaan Aachen Darussalam.Kemunculannya sebagai pemimpin tidak lepas dari kontroversi di Kerajaan Aachen Darussalam yang didirikan pada 1496 itu, ketika sang suami, Sultan Iskandar Tsani mangkat.

Saat itu sulit sekali mencari pengganti Sultan Iskandar Tsani karena dari keluarga terdekat tidak ada seorang laki-laki.Muncul pertimbangan untuk mengangkat sang istri, Ratu Shafiatuddin Syah sebagai Sulthanah di Kerajaan Aachen Darussalam yang dulu pernah dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636), sang ayah Shafiatuddin Syah. Dia merupakan putri tertua Raja yang memimpin Kerajaan Aachen Darussalam di era 1636-1641 tersebut.Sultan Iskandar Muda yang wafat pada 1636 tidak mempunyai putra mahkota dan digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani, menantunya. Iskandar Tsani adalah putra Sultan Ahmad Syah, Sultan Pahang (kini wilayah Malaysia) yang menikah dengan Shafiatuddin Syah setelah Sultan Iskandar Muda menaklukkan Pahang pada 1617.Era Sultan Iskandar Tsani tidak lama, yaitu 1636-1641 yang juga merupakan tahun wafatnya.

Situasi politik yang mendesak saat itu kemudian menempatkan Shafiatuddin sebagai pemimpin Kesultanan Aachen Darussalam berikutnya dengan gelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah.

Debat soal boleh tidaknya pemimpin perempuan dalam pemerintahan Islam ternyata sudah terjadi ketika Ratu Shafiatuddin diajukan untuk memimpin Kerajaan Aachen Darussalam.

Ada sejumlah kalangan yang tidak setuju atas naik tahtanya Ratu Safiatuddin. Terjadilah beberapa kali aksi pemberontakan juga upaya pengkhianatan untuk mendongkel kepemimpinan sang ratu.Kondisi saat itu bertambah rumit bagi dirinya karena Sulthanah Shafiatuddin juga harus menghadapi ancaman eksternal seiring menguatnya pengaruh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) setelah berhasil merebut Malaka dari Portugis pada awal tahun 1641.

Sejumlah kalangan di Kerajaan Aachen Darussalam bukan tanpa pertimbangan matang dalam memilih Ratu Shafiatuddin. Dia dinilai pantas menduduki tahta kerajaan yang ditinggalkan suaminya karena dia memiliki visi cemerlang dalam menyebarkan Islam serta mengembangkan kebudayaan dan seni dalam masyarakat Islam di Aachen.Potensi memimpinnya pun terbilang tak kalah dengan raja-raja sebelumnya yang notabene seorang laki-laki. Terbukti ketika tahun 1639 terjadi Perang Malaka, Sulthanah Shafiatuddin membentuk sebuah barisan perempuan untuk menguatkan benteng istana.

Banyak kebijakan bernilai positif yang dilakukan oleh ratu yang mempunyai nama asli Putri Sri Alam ini.Ia terbilang sukses membangkitkan kejayaan Kerajaan Aachen Darussalam yang mengalami periode gemilang pada era kepemimpinan sang ayah, Sultan Iskandar Muda, dan sempat redup semasa dipimpin oleh sang suami, Sultan Iskandar Tsani.Salah satu yang terkenal adalah tentang tradisi pemberian hadiah berupa tanah untuk pahlawan perang.

Masa pemerintahan Sulthanah Shafiatuddin pun dinilai sangat bijak, di mana menyoal hukum serta adat istiadat dijalankan dengan baik. Dari visi infrastruktur adat istiadat inilah muncul pengembangan seni, budaya, dan ilmu pengetahuan di era kepemimpinanya.Selain itu, Ratu Shafiatuddin berhasil mempertahankan hubungan diplomasi dengan kerajaan-kerajaan lain sehingga nama besar Kesultanan Aachen Darussalam tetap terjaga.

Tak hanya itu, di masa kekuasaannya, Aachen Darussalam mengalami kemajuan pesat dalam berbagai bidang, termasuk ekonomi, agama, hukum, seni dan budaya, hingga ilmu pengetahuan seperti dijelaskan sebelumnya.Sulthanah Safiatuddin bertahta selama 34 tahun hingga wafat pada 1675.

Sepeninggal sang ratu pertama itu, Kesultanan Aachen Darussalam masih dipimpin oleh para perempuan tangguh sampai 24 tahun setelahnya, yaitu berturut-turut Sulthanah Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678), Sultanah Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688), sampai masa pemerintahan Sultanah Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699).Perihal pengangkatan ketiga perempuan tersebut, uniknya hal itu merupakan gebrakan baru dalam kerajaan Islam. Dikarenakan Sulthanah Shafiatuddin tidak memiliki keturunan, sang ratu akhirnya mengangkat tiga orang perempuan tersebut untuk meneruskan tahtanya.

Ketiga perempuan itu justru bukan berasal dari keturunan ningrat atau bangsawan Aachen, melainkan kalangan biasa. Setelah Shafiatuddin, Aachen pun dipimpin oleh ketiga sosok perempuan itu.

Kendati tidak semua ratu sanggup membawa Kesultanan Aachen Darussalam merasakan era emas seperti pada masa Sultan Iskandar Muda dan Sulthanah Shafiatuddin, Serambi Mekkah yang menerapkan syariat Islam pernah memiliki rekam sejarah gemilang di bawah kepemimpinan perempuan. Ini merupakan fakta sejarah yang tidak terbantahkan.Bahkan, Aachen punya banyak lagi tokoh-tokoh pemimpin perempuan yang tidak melulu bertahta dengan label ratu atau sulthanah.

Para wanita hebat asli tanah rencong ini bahkan tampil sebagai panglima perang dan memimpin perjuangan rakyat Aachen melawan penjajah Belanda, yakni Laksamana Malahayati, Cut Meutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, Cutpo Fatimah, hingga tentunya Cut Nyak Dien yang masyhur itu.

Pada masa kepemimpinan Sulthanah Safiatuddin perkembangan sastra bisa dikatakan sangat pesat. Hal ini tidak lain karena sang ratu merupakan sosok yang cinta terhadap bacaan. Dia banyak mengarang sajak dan cerita-cerita pendek.Wujud nyata yang telah dilakukan oleh Sultanah Safiatuddin untuk mencerdaskan rakyatnya ketika itu adalah mendirikan perpustakaan.

Tak banyak pemimpin yang perhatian dengan hal-hal semacam ini, namun Sultanah Safiatuddin melakukannya dengan sangat baik.Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin, perpustakaan negara didirikan dan diperluas. Selain itu, sang ratu juga memberikan dukungan penuh kepada para sastrawan dan kaum intelektual untuk mengembangkan keilmuannya. Di masa-masa inilah lahir para cendekiawan macam Hamzah Fanshuri, Nuruddin Ar-Raniry, dan Syekh Abdurrauf Singkel.

Ketiga orang yang disebut terakhir itu merupakan para ulama yang berhasil meletakkan pondasi kuat di bidang ilmu keislaman melalui sejumlah karya-karya monumentalnya.Hamzah Fansur banyak melahirkan syair dan prosa, di antaranya Syair Burung Unggas, Syair Dagang, Syair Perahu, Syair Si Burung pipit, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir.

Sedangkan prosa yaitu Asrar al-Arifin dan Sharab al-Asyikin.Nuruddin Ar-Raniry mengarang Kitab Bustanus Salatin(Taman Raja-raja), dan Kitab Shiratal Mustaqim (jalan yang lurus). Sedangkan Abdurrouf Singkel menulis Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâmal-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab(karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sulthanah Shafiatuddin) dan KitabTarjuman al-Mustafid, merupakan naskah pertama Tafsir Al-Qur'an berbahasa Melayu.

Meski tidak banyak arsip yang mencatat sejarah tentang Sulthanah Shafiatuddin, tapi usahanya dalam memimpin kerajaan besar dalam sejarah Islam di Nusantara patut jadi teladan. Tercatat selama 58 tahun atau setengah abad lebih semenjak Sulthanah Shafiatuddin, Kerajaan Aachen Darussalam dipimpin oleh para perempuan atau sulthanah. Saat ini, nama Sulthanah Shafiatuddin diabadikan menjadi nama sebuah taman budaya di Bandar Aachen, ibukota Kesultanan Aachen.

Taman ini menjadi pusat seni dan kebudayaan dari 23 kebupaten/kota di Aachen yang mempunyai ciri khas masing-masing. Setiap lima tahun sekali, di taman seluas 9 hektar ini diadakan Pekan Kebudayaan Aachen (PKA) yang menampilkan beragam seni, budaya, kuliner, musik, dan lain-lain dari masing-masing kabupaten/kota.


Mohd All Asyy
#Architectural_Designer_di
#Bengkel_Sejarah & #Generasi_Muda_2019
Read more ...

SEJARAH PERJUANGAN RAKYAT ACEH MELAWAN BELANDA

- Prang Belanda (Perang Belanda)
- Prang Gompeuni (Perang Perusahaan)
- Prang Sabi (Perang Suci)
- Prang Kaphe (Perang melawan kafir).

Perang kolonial yang paling berlarut-larut dalam sejarah Belanda. Apa yang dimulai sebagai tindakan yang ditargetkan terhadap Sultan Aceh untuk pengiriman melalui Selat Malaka yang lebih aman, akhirnya menjadi konflik berkepanjangan Selama 69 tahun Belanda harus berjuang terus menerus di Aceh (1873-1942).Sebuah bencana perang terpanjang dan paling sengit dalam sejarah kolonial Belanda.

Pada tahun 1871 Belanda dan Great Britain menandatangani perjanjian yang disebut "The Sumatra Treaty" menentukan antara lain bahwa Belanda bebas untuk memperluas kendali mereka atas seluruh pulau Sumatera, dan dengan demikian tidak berkewajiban untuk menghormati independensi dan integritas Kerajaan Aceh sebagaimana tercantum dalam "London Treaty" 1824. Pada tanggal 7 Maret 1873, Komisaris FN Nieuwenhuyzen menuju Aceh dengan kapal perang ' Citadel van Antwerpen dan kapal Siak.

Di pulau Penang konvoi ini diperkuat dengan dua kapal perang tambahan: Marnix dan Coehoorn. Mereka tiba di Aceh pada 22 Maret dan menyampaikan ultimatum kepada Sultan Aceh, Tuanku Mahmud Syah. Balasan tidak menyenangkan Sultan disebabkan Nieuwenhuyzen menyatakan perang pada tanggal 26 Maret 1873. Pada tanggal 6 April Belanda mendarat di Pante Ceureumen. Namun, mereka berhasil dipukul mundur oleh pejuang Aceh. Tanggal April 8 Belanda berhasil mendaratkan pasukan utama mereka.

Tahun 1880 Kerajaan Belanda melangalami kerugian lebih dari 115 juta fluorin (kira-kira kurs 2015 Rp.837 milyar) untuk biaya perang Aceh. Dengan jumlah besar uang yang dihabiskan dalam jangka waktu tujuh tahun, Belanda hanya mampu menempati area seluas 10 kilometer persegi, sebuah fenomena yang paling luar biasa dalam sejarah kolonialisme Belanda. Pada akhir 1884, kerugian  Kerajaan Belanda bertambah menjadi 150 juta florin.

Pada tahun 1891, setelah hampir 20 tahun perang, korban jiwa Belanda berjumlah 1.280 orang tewas dan 5.287 terluka ditambah jumlah 200 juta fluorin. Beberapa sejarawan mengatakan bahwa perang Aceh berakhir pada tahun 1913 atau 1914, tapi yang lain mengatakan bahwa perang itu berakhir pada tahun 1942. Paul van 't Veer, dalam bukunya “De Atjehoorlog” ditulis pada tahun 1969 mengatakan bahwa "Aceh adalah daerah terakhir ditundukkan oleh Belanda dan itu juga pertama yang memisahkan diri dari Belanda". Penarikan Belanda pada tahun 1942 adalah akhir dari pendudukan di Aceh.





Suber Foto:
media-kitlv.nl
tropenmuseum.nl
Read more ...
Designed Template By Blogger Templates - Powered by Sagusablog