Misalnya saja, ada yang mengatakan,
”Kami ini bisnisnya semen, bukan ritel.” Dan kalau diteruskan lagi
”kami”-nya bisa panjang: kami jual mobil, bukan hiburan; kami pupuk,
bukan hotel; kami tekstil, bukan oleh-oleh; dan seterusnya. Seakan-akan
dunia maya itu hanya berlaku bagi ritel, hiburan, dan sejenisnya. Mungkin anggapan semacam itu menguat
lantaran sering melihat anak-anak bermain game. Jadi, dunia digital
hanya ada dalam game, bukan kehidupan nyata. Anggapan seperti itu, kalau dibiarkan,
tentu bakal menyesatkan dan menyulitkan banyak perusahaan yang sudah
bagus. Itu akan membuat kita ”gagal paham”. Ya, gagal memahami
perubahan-perubahan besar yang tengah bergulir di sekitar kita.
Kini, sejak manusia melewati tahapan
connectivity melalui internet, digital dan dunia nyata menyatu dalam
kehidupan kita sehari-hari. Ini buktinya. Masih ingat dengan seorang perwira TNI
yang memecahkan kaca bus di jalan tol Cikunir Mei 2017 lalu? Kasus yang
ada di dunia nyata itu mungkin tak akan terungkap kalau tidak ada sebuah
akun Facebook yang meng-upload kejadian tersebut. Menurut akun itu, sang perwira tadi
mengendarai mobil di ruas jalan tol yang macet. Mungkin jengkel dengan
kemacetan, juga merasa jalannya terhalang bus, perwira tersebut dengan
tongkatnya memukul pecah kaca samping bus.
Semula perwira itu berdalih mobilnya
diserempet bus. Namun, tak ada bukti soal serempetan tersebut. Akun itu
menulis, ”Ngaku spionnya kesenggol sampai lecet, tetapi di rekaman tidak
ada lecet sama sekali. Diminta pertanggungjawaban malah kabur.”
Unggahan tersebut kemudian ramai dibicarakan netizen. Puspen TNI merespons terlebih dahulu.
Melalui akun Instagram, Puspen TNI meminta maaf kepada PO bus tersebut.
Lalu, menyusul sang perwira juga mengakui kesalahannya dan meminta maaf.
Dia siap bertanggung jawab untuk mengganti kerugian bus. Itu bukti betapa dunia digital kita sudah menyatu dengan dunia nyata.
Mau bukti lainnya?
Masih ingat kasus seorang pegawai
perempuan yang bekerja di Mahkamah Agung (MA) yang marah-marah dan
mencakar Aiptu Sutisna saat petugas kepolisian itu hendak menilangnya?
Sutisna tidak melawan. Dia hanya menghindar. Itu peristiwa yang terjadi
di dunia nyata.
Adegan amukan pegawai MA tersebut
kemudian muncul di dunia maya. Seorang netizen merekamnya dan
meng-upload videonya ke akun Facebook. Kejadian itu pun menjadi viral.
Berkat sikapnya yang tidak melawan,
Aiptu Sutisna mendapatkan apresiasi. Bukan hanya dari masyarakat, tapi
juga Kepolisian Negara RI (Polri). Sebaliknya, si pegawai MA tadi
dimutasi dari jabatannya di eselon IV menjadi staf di PTUN Pekanbaru.
Pengalaman Sandvik
Saya tadi menyinggung soal betapa
repotnya kalau gagal paham menyatunya dunia maya dengan dunia nyata
sampai berlarut-larut. Sebab, di belahan dunia sana, masyarakatnya
–terutama kalangan korporasi– sudah menikmati hasil dari penyatuan dua
dunia tersebut.
Salah satu contohnya Sandvik Coromant
(SC), perusahaan asal Swedia yang menjadi produsen utama cemented
carbide dunia. Cemented carbide adalah material yang biasa dipakai pada
mesin pemotong material logam nonbaja dan banyak dipakai industri
manufaktur. Bisnis SC sempat terpuruk lantaran hadirnya produk Tiongkok
yang lebih murah.
Lalu, apa yang dilakukan SC?
SC lalu melengkapi mesin pemotongnya
dengan sensor. Sensor tersebut berfungsi memantau kinerja cemented
carbide. Kapan alat itu terlalu stres, sudah aus, dan tiba waktunya
untuk diganti. Data dari sensor tersebut kemudian dikirim ke server dan
oleh server didistribusikan ke pihak-pihak yang mesti tahu soal itu. Di
antaranya general manager, manajer, atau supervisor di pabrik.
Bagi banyak pabrik, informasi semacam
itu sangat penting. Jangan sampai pabrik berhenti beroperasi gara-gara
mesin pemotong nonlogamnya rusak. Biaya untuk shutdown dan menghidupkan
kembali bisa sangat mahal. Informasi semacam itulah yang kemudian
menjadi nilai lebih bagi SC ketimbang produk sejenis dari Tiongkok.
Pelanggan pun beralih dari produk buatan Tiongkok ke buatan SC. Itu contoh kasus di dunia korporasi yang
memakai teknologi untuk menggabungkan dunia digital (informasi dari
sensor) dengan dunia nyata (pekerjaan di pabrik). Kasus lainnya masih
banyak.
Misalnya, ada Rolls-Royce yang memasang
sensor di mesin pesawat terbang. Ketika pesawat masih berada di udara,
kondisi mesin sudah terpantau. Saat mendarat, kalau ada komponen mesin
yang perlu diganti, itu bisa langsung dilakukan tanpa pesawat perlu
masuk hanggar. Jadi, pesawat bisa langsung terbang lagi. Itu tentu
meningkatkan kinerja operasional pesawat.
Dunia 4.0
Dalam lingkungan masyarakat, para
petugas layanan publik bisa memantau sejumlah kejadian dengan adanya
CCTV. Ingat dengan pembalap MotoGP Nicky Hayden yang meninggal dunia
karena tertabrak mobil? Melalui CCTV, pihak kepolisian mendapati bahwa
Nicky Hayden lalai. Hayden bersepeda sambil mendengarkan
musik melalui iPod. Akibatnya, dia tak mendengar suara-suara yang ada di
sekitarnya, termasuk mobil-mobil yang lalu-lalang di perempatan jalan.
Salah satu mobil itulah yang kemudian menabrak Hayden.
Belajar dari kejadian tersebut, kita
mungkin bisa memprakarsai gerakan no gadget saat melakukan aktivitas di
area-area publik. Kini kita sudah memasuki dunia versi 4.0. Dunia maya
atau digital dan dunia nyata sudah menyatu. Namun, banyak musibah
terjadi gara-gara masyarakat kita masih merasa seolah-olah berada di dua
dunia yang berbeda. Misalnya terus saja memakai smartphone
saat menyetir mobil atau mengendarai sepeda motor –sesuatu yang banyak
kita jumpai di masyarakat kita. Juga terus memakai smartphone saat
tengah berjalan di trotoar atau area publik lainnya. Itu fenomena yang
ada di mana-mana. Mereka berjalan seenaknya sambil matanya tak henti
menatap layar smartphone dan tangannya terus mengetik.
Padahal, sudah banyak video yang
menayangkan orang-orang yang tersandung atau terperosok lubang karena
terlalu asyik dengan smartphone-nya. Atau menabrak orang lain yang
melintas di hadapannya; menabrak tiang atau pintu; bahkan tertabrak
sepeda, sepeda motor, hingga mobil lantaran menyeberang jalan secara
sembarangan.
Di Jerman, seorang petugas pengatur
sinyal dituding bertanggung jawab atas kecelakaan kereta yang
mengakibatkan 150 orang mengalami luka-luka dan 11 orang meninggal
dunia. Menurut jaksa, sesaat sebelum kecelakaan terjadi, petugas itu
asyik bermain game online via ponselnya. Akibatnya, dia menekan tombol
yang salah. Informasi yang salah itulah yang diterima dua masinis dari
dua kereta berbeda. Dan kecelakaan pun tak terelakkan.
Di dunia 4.0, era di mana semua serba
terkoneksi, kita tak mau ada masyarakat yang gagal paham bahwa dunia
digital sudah menyatu dengan dunia nyata. Sebab, risikonya bisa sangat
fatal.
Rhenald Kasali ; Akademisi dan Praktisi Bisnis
yang juga Guru Besar bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia; Pendiri Rumah Perubahan
dan http://widiyanto.com