PEKAN
lalu seorang pelajar SMA dari Surabaya menulis sebuah surat terbuka
untuk M Nuh, menteri pendidikan dan kebudayaan. Surat itu berisi kritik
yang tajam, dengan logika yang baik, tetapi dalam bahasa yang santun.
Substansi kritik surat tersebut sudah cukup banyak dibahas dan tidak
akan saya ulang di sini. Yang saya soroti dalam tulisan ini ialah
jawaban M Nuh ketika ditanya wartawan tentang surat tersebut. Alih-alih
memberi apresiasi, ia justru tidak percaya bahwa seorang pelajar SMA
bisa menulis surat seperti itu.
Respons M Nuh tentu mengecewakan,
tetapi tidak mengejutkan. Ketidakpercayaan Pak Menteri sudah bisa diduga
karena konsisten dengan arah kebijakan mendasar yang dipilih
kementeriannya. Yang pertama ialah penguatan fungsi ujian nasional
sebagai penentu kelulusan siswa SMP dan SMA. Yang kedua ialah
penggantian kurikulum tingkat satuan pendidikan dengan kurikulum 2013.
Kedua kebijakan itu pada dasarnya mencerminkan ketidakpercayaan akut
terhadap kapasitas profesional guru sebagai ujung tombak pendidikan.
Bila terhadap guru saja M Nuh sangsi, apalagi pada siswa-siswanya?
Profesionalitas tanpa otonomi
Secara resmi, pemerintah telah
mengakui guru sebagai profesional. Hal itu berarti kerja guru diakui
sebagai aktivitas yang padat pengetahuan (knowledge-intensive),
yang memerlukan keahlian khusus yang diperoleh melalui rangkaian
pengalaman belajar sistematis dan ekstensif. Salah satu implikasinya
ialah bahwa guru, sebagaimana dokter dan akuntan, seyogianya dipercaya
untuk bekerja secara otonom/ mandiri berdasarkan professional judgment
mereka.
Kewenangan untuk bekerja secara otonom
itu sesuai dengan kerangka kualifikasi nasional yang ditetapkan
pemerintah (PP No 8 Tahun 2012). Dalam kerangka itu, kompetensi seorang
profesional mencakup kemampuan merencanakan dan mengelola sumber daya
dalam lingkup tanggung jawabnya, serta mengevaluasi secara komprehensif
hasil kerjanya. Secara finansial, pengakuan profesionalitas guru juga
tecermin pada pemberian tunjangan profesional bagi yang telah lulus
sertifikasi.
Yang menjadi masalah ialah pengakuan formal dan penghargaan finansial tersebut tidak diikuti dengan pemberian kepercayaan (trust).
Justru sebaliknya, pemerintah mengebiri kewenangan guru dalam
melaksanakan aktivitas profesionalnya. Salah satu aspek kunci aktivitas
mengajar ialah melakukan assessment hasil belajar siswa. Namun, melalui
kebijakan ujian nasional pada SMP dan SMA (serta ujian daerah untuk
tingkat SD), pemerintah pada dasarnya mengatakan guru tidak bisa
dipercaya melakukan evaluasi hasil belajar siswanya sendiri.
Sebaliknya, evaluasi pembelajaran
hanya bisa dilakukan tim pakar dari pusat, melalui ujian yang isinya
dijadikan rahasia negara. Paket soal pun dibuat sampai 20 jenis, untuk
memastikan siswa (dan para gurunya) tidak bisa saling menyontek. Bahkan
ada daerah yang sampai menyadap telepon seluler para guru agar mereka
tidak membocorkan soal ujian.
Pesan yang disampaikan implisit, tapi
gamblang: pemerintah tidak percaya bahwa guru bisa mampu merancang soal
ujian yang baik, atau dapat menilai muridnya sendiri dengan objektif.
Ini ibarat pemerintah, melalui Departemen (Kementerian) Kesehatan,
ngotot menguji hasil diagnosis dan pengobatan setiap orang yang mendapat
pelayanan dari dokter di Indonesia. Tentu itu pemikiran yang absurd. Namun, itulah yang terjadi pada di dunia pendidikan.
Namun, bukan hanya itu. Pemerintah
juga mencabut kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang belum
genap 10 tahun diterapkan. Salah satu landasan filosofis KTSP ialah yang
mengetahui konteks dan kebutuhan bela jar siswa ialah guru dan sekolah.
Dengan demikian, sekolah diberi kewe nangan untuk menyusun kuri
kulumnya sendiri, dengan mengacu ke beberapa capaian belajar nasional.
Guru juga harus membuat rencana ajar (lesson plan) mereka sendiri. Tentu itu menuntut keahlian profesional tersendiri.
Otonomi itu dicabut dengan berlakunya
kurikulum 2013. Sekolah tidak lagi boleh menyusun kurikulumnya sendiri.
Guru pun diminta untuk sekadar melaksanakan lesson plan yang telah
disiapkan tim dari pusat. Bahkan buku ajar dan materi lain juga dipasok.
Materi dan proses pengajaran dari Aceh sampai Papua, untuk kota
megapolitan Jakarta sampai desa pelosok terpencil, diharapkan sama. Guru
pun berhenti menjadi profesional dan beralih menjadi tukang penyampai
informasi.
Mencari presiden yang pro-guru
Apakah keadaan ini menunjang proses
pembelajaran? Apakah dalam keadaan seperti ini, guru dapat mengajar
dengan inovatif? Apakah siswa menjadi bersemangat untuk belajar dan haus
pengetahuan? Tak dimungkiri, ada sebagian guru yang lebih senang dengan
pengebirian otonomi profesionalnya. Apalagi disertai dengan reward finansial berupa tunjangan profesi yang relatif besar bagi mereka.
Namun, untuk sebagian besar yang lain,
uang saja tidak akan menumbuhkan keinginan intrinsik untuk menjadi
kreatif dan inovatif. Sebuah teori psikologi klasik mengatakan uang
hanyalah faktor yang mencegah seseorang untuk berhenti kerja. Uang tidak
dapat membuat seseorang menyenangi dan mau mencurahkan segenap jiwa
untuk pekerjaannya. Untuk itu, ada kebutuhan-kebutuhan psikologis yang
mesti dipenuhi, seperti otonomi dan kompetensi. Kebutuhan akan otonomi
terpenuhi ketika seseorang diberi kepercayaan dan kesempatan untuk
berpikir dan kemudian bertindak mandiri. Kebutuhan kompetensi terpenuhi
ketika pekerjaan seseorang memungkinkannya untuk terus tumbuh, menguasai
pengetahuan dan keterampilan baru.
Momentum pemilu tahun ini membuka
harapan bahwa presiden baru akan terbuka untuk melakukan reformasi
mendasar di bidang pendidikan. Apa yang harus dilakukan? Solusi jangka
pendeknya sebenarnya amat jelas. Pertama, hentikan penggunaan ujian
nasional sebagai komponen penentu kelulusan siswa dan kembalikan
wewenang evaluasi kepada guru dan sekolah. Itu sejalan dengan Pasal 58
UU No 20/2003 yang menyatakan evaluasi hasil belajar siswa dilakukan
pendidik, serta Pasal 61 yang menegaskan ujian diselenggarakan satuan
pendidikan.
Kedua, cabut kurikulum 2013, dan
kembali berlakukan KTSP. Ini juga sejalan dengan UU No 20/2003 Pasal 36
sampai 38, yang menjelaskan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan
satuan pendidikan berdasarkan prinsip `diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik’.
Kurikulum yang seluruh perangkat pendukungnya dibuat secara terpusat
jelas melanggar prinsip itu. Kedua kebijakan korektif itu ialah langkah
awal yang memungkinkan guru untuk mengajar secara lebih bermakna, bukan
sekadar untuk menuntaskan materi dan mengejar nilai ujian.
Untuk jangka menengah dan panjang,
pemerintah harus serius meningkatkan kualitas guru serta menutup
kesenjangan antardaerah. Hal itu dimulai dengan reformasi lembaga
pendidikan guru dan sistem pengembangan kompetensi berkelanjutan untuk
guru yang sudah mengajar. Sediakan bank soal untuk topik-topik penting,
latih para guru untuk merakit tes yang diperlukan, kemudian percayakan
pada mereka untuk mengevaluasi muridnya. Tanpa kepercayaan kepada guru,
sampai kapan pun pendidikan kita akan jalan di tempat, atau bahkan
mundur teratur.
Anindito Aditomo ; Direktur Pusat Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Universitas
Surabaya, Alumnus Universitas Gadjah Mada dan University of Sydney,
Australia (MEDIA INDONESIA, 19 Mei 2014)
http://widiyanto.com/otonomi-profesional-guru-dan-kualitas-pendidikan/
No comments:
Post a Comment