BAB I
PENDAHULUAN
Dalam Encylopedia Islam, sebagaimana dikutip oleh Merduati, disebutkan bahwa kata Spanyol berasal dari bahasa Arab, yaitu Sabtah yang awalnya berasal dari bahasa Latin; Septem yang berarti tujuh. Lengkapnya Septem Fatres yang berarti tujuh saudara.[1] Di dunia Islam, nama Spanyol lebih dikenal dengan Andalusia.
Andalusia adalah sebuah daerah yang terletak di benua Eropa Barat Daya.
Di bagian timur dan tenggara, Andalusia berbatasan dengan Laut Tengah.
Di sebelah selatan berbatasan dengan Afrika yang terhalang oleh selat
Gibraltar, sedangkan di bagian barat berbatasan dengan Samudra Atlantik.
Adapun di bagian timur laut, Andalusia dibatasi oleh Perancis.[2]
Andalusia adalah nama bagi Semenanjung Iberia pada zaman pemerintahan
Bani Umayyah. Menurut Siti Maryam dan Jaih Mubarok, sebagaimana dikutip
oleh Dedi Supriyadi, disebutkan bahwa Andalusia (Spanyol) berasal dari
Vandal, karena Iberia pernah dikuasai oleh bangsa Vandal sebelum terusir
oleh bangsa Ghotia Barat pada abad ke-5 Masehi.[3]
Sebelum kedatangan Islam, penduduk Spanyol terdiri dari beberapa
golongan. Golongan pertama dikenal dengan Latifundia yang artinya para
penguasa tanah. Golongan kedua adalah para buruh tani yang disebut
dengan Serf, golongan ini juga terdiri dari budak belian. Golongan
ketiga adalah golongan menengah yang bergerak dalam bidang ekonomi dan
produksi. Golongan keempat adalah para pengusaha yang memiliki hak-hak
istimewa dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Kelompok kelima
adalah kelompok terakhir yang terdiri dari para pemimpin gereja Katholik
pemikiran St. Agustinus.[4]
Umat Islam baru berhasil menaklukkan Semenanjung Iberia tersebut pada
masa pemerintahan Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik pada tahun 86-96
Hijrah (705-715 M).[5]
Ekspansi pasukan Islam ke Andalusia (Spanyol) merupakan serangan
terakhir dan paling dramatis dari seluruh operasi militer yang pernah
dijalankan oleh orang-orang Arab. Serangan ke Andalusia adalah puncak
ekspansi muslim ke wilayah Afrika-Eropa, seperti halnya penaklukan
Turkistan yang merupakan titik terjauh ekspansi ke kawasan Mesir-Asia.[6]
Sejak abad ke-8, Granada dan sebahagian wilayah Spanyol berada dalam
kekuasaan Islam. Sejarah panjang kekuasaan Islam di Spanyol dibagi ke
dalam enam periode, yaitu: periode pertama, Spanyol berada di bawah
pimpinan para wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayyah di Damaskus.
Periode kedua, Spanyol dipimpin oleh panglima dan gubernur yang dikenal
dengan amir, tetapi mereka tidak tunduk kepada pusat pemerintahan Islam
di Baghdad yang saat itu dikuasai oleh Bani Abbasiyah. Periode ketiga
dimulai sejak pemerintahan Abdurrahman III (An-Nashir) sampai dengan
munculnya kerajaan-kerajaan kecil. Pada periode keempat, kekuasaan Islam
di Spanyol terpecah kepada lebih dari tiga puluh kerajaan-kerajaan
kecil yang dikenal dengan Muluk ath-Thawaif. Periode kelima, kekuasaan
Islam di Spanyol yang sudah terpecah dalam kerajaan kecil didominasi
oleh dua Dinasti, yaitu Murabithun dan Muwahhidun. Periode keenam adalah
periode terakhir kekuasaan Islam di Spanyol, di mana kekuasan Islam
hanya tinggal di Granada dibawah kekuasaan Bani Ahmar.[7]
Pemerintahan Islam di Spanyol dalam waktu yang panjang telah menyisakan
berbagai karya luar biasa yang menjadi cikal bakal peradaban dunia.
Hasil karya umat Islam di Spanyol juga memiliki kontribusi besar dalam
membebaskan bangsa Eropa dari kegelapan.[8]
Kegemilangan umat Islam di Spanyol dibangun oleh Abdurrahman III, namun
kondisi ini tidak berlangsung lama. Pada saat umat Kristen Spanyol
telah menguasai ilmu pengetahuan dan memiliki kepandaian, mereka justru
menyusun strategi untuk menghancurkan kekuasaan Islam di Spanyol.
Dinasti Islam terakhir yang berkuasa di Spanyol adalah Dinasti Ahmar di
Granada. Pada tahun 1492 M, Raja Ferdinad II dan Ratu Isabella berhasil
merebut Granada dari tangan umat Islam. Kejatuhan Dinasti Ahmar ini
akhirnya membawa kepada keruntuhan kekuasaan Islam di Spanyol.[9]
Kejayaan dan kemegahan yang pernah dibangun oleh umat Islam di Spanyol
rupanya tidak mampu dilanjutkan oleh para penguasa Kristen. Bangsa Eropa
baru mulai mengadakan pembaharuan atau modernisasi pada abad ke-18.[10]
Untuk mengetahui sejarah Islam di Andalulisa (Spanyol) secara
komprehensif, penulis akan membahasnya secara ringkas dalam makalah ini
yang merupakan tugas mata kuliah Sejarah Perabadan Islam di Program
Pascasarjana UIN Ar-Raniry. Adapun sistematika pembahasan dalam makalah
ini meliputi: Pertama, perkembangan Islam di Andalusia; periode para
Wali, masa Keamiran, masa Kekhalifahan, Muluk at-Thawaif, Reconquesta,
Dinati Murabithun, Dinasti Muwahidun dan masa Bani Ahmar. Kedua,
kemajuan peradaban Islam di Andalusia; bidang ilmu pengetahuan dan
filsafat, bidang geografi dan sains, bidang sejarah dan sosiologi,
bidang agama dan hukum Islam, bidang musik dan kesenian, bidang bahasa
dan sastra dan bidang perkembangan fisik. Ketiga, runtuhnya kerajaan
Andalusia; lemahnya kekuasaan Bani Umayyah II dan bangkitnya
kerajaan-kerajaan kecil di Andalusia dan timbulnya semangat orang-orang
Eropa untuk menguasai kembali Andalusia. Keempat, hancurnya peradaban
Islam di Andalusia; hancurnya kekuasaan Islam dan rendahnya semangat
para ahli dalam menggali budaya Islam dan banyaknya orang-orang Eropa
yang menguasai ilmu pengetahuan dari Islam.
Sumber data dalam pembahasan makalah ini adalah beberapa buku sejarah
peradaban Islam dan juga beberapa jurnal yang terkait dengan sejarah
Islam di Andalusia.
BAB II
SEJARAH PERADABAN ISLAM DI ANDALUSIA
(SPANYOL)
A. Perkembangan Islam di Andalusia
Pada saat berada di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Walid bin Abdul
Malik, Daulah Bani Umayyah melakukan ekspansi besar-besaran ke Barat.
Pada masa pemerintahan Al-Walid yang berjalan lebih kurang sepuluh
tahun, pada tahun 711 M tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika
Utara menuju wilayah Barat Daya benua Eropa. Setelah menundukkan
Aljazair dan Maroko, pemimpin pasukan Islam, Thariq bin Ziyad bersama
pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko dengan benua
Eropa. Pasukan Thariq bin Ziyad berlabuh di suatu tempat yang saat ini
dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq).[1]
Kapal-kapal yang digunakan oleh pasukan Thariq, menurut beberapa
riwayat disediakan oleh Julian, Pangeran Ceuta, yang namannya cukup
melegenda.[2]
Sebelum ditakukkan oleh pasukan Islam, Spanyol diperintah oleh Raja
Visigoth Roderick yang memerintah Spanyol dengan sewenang-wenang. Salah
seorang keluarganya yang menjadi gubernur Ceuta, Julian, menaruh dendam
kepada Roderick. Akhirnya Julian melakukan kerjasama dengan tentara
Islam yang dipimpin oleh Musa bin Nushair untuk menjatuhkan Roderick.[3]
Dalam ekspedisi yang dilakukan oleh pasukan Islam tersebut, tentara
Spanyol dapat dikalahkan oleh pasukan Islam. Ibu Kota Spanyol, Cordova,
dengan cepat dapat dikuasai oleh pasukan Islam. Kemudian disusul oleh
kota-kota lain, seperti: Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan
sebagai ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordova.[4]
Dalam proses penaklukan Spanyol, terdapat tiga pahlawan Islam yang
sangat berjasa. Mereka adalah Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad dan
Musa bin Nushair. Tharif ibn Malik dapat dikatakan sebagai perintis
penaklukan Spanyol. Dia menyeberangi selat yang berada antara Maroko dan
benua Eropa bersama pasukan perangnya.[5]
Dikisahkan bahwa, setelah mendapat persetujuan dari Khalifah Al-Walid
I, Musa bin Nushair memerintahkan panglima Tharif bin Abdul Malik
an-Nakhai yang membawa 400 orang tentara dengan 100 pasukan berkuda guna
melakukan penjajakan awal. Pasukan Tharif memasuki Spanyol (Andalusia)
pada tahun 710 M.[6]
Didorong oleh keberhasilan Tharif tersebut dan juga munculnya kemelut
dalam kerajaan Visigothic yang menguasai Spanyol saat itu, serta
didorong pula untuk memperoleh harta rampasan perang,[7] bukan hasrat untuk menaklukkan,[8] pada tahun 711 M, Musa bin Nushair mengirim pasukan ke Spanyol sebanyak 7000 orang di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad.[9] Thariq bin Ziyad adalah seorang budak Barbar yang telah dibebaskan oleh Musa bin Nushair.[10]
Ketika Raja Roderick mengetahui bahwa pasukan Thariq telah memasuki
Spanyol, dia berusaha mengumpulkan pasukan penangkal sebanyak 25 ribu
tentara. Menyadari jumlah musuh yang tidak seimbang, Thariq meminta
bantuan kepada Musa bin Nushair, akhirnya Thariq mendapat tambahan
pasukan sebanyak 12 ribu tentara.[11] Sebelum Thariq bin Ziyad menyerang kota-kota lain, Thariq terlebih dahulu menaklukkan Arknidona, kemudian Elvira.[12]
Thariq bin Ziyad[13]
adalah pahlawan Islam yang dikenal sebagai penakluk Spanyol disebabkan
pasukannya lebih besar serta membuahkan hasil yang nyata. Pasukan Thariq
bin Ziyad sebagian besar terdiri dari suku Barbar yang didukung oleh
Musa bin Nushair dan sebagian orang Arab yang dikirim oleh Khalifah
Al-Walid. Dalam pertempuran di suatu tempat yang bernama Bakkah, Raja
Roderick dapat dikalahkan.[14] Pasukan Roderick porak-poranda dalam keadaan kacau, sementara nasib Roderick ditentukan diujung tombak Thariq bin Ziyad.[15]
Kemenangan yang diperoleh oleh pasukan Thariq bin Ziyad telah membuka
jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Pada tahapan
selanjutnya, Musa bin Nushair ikut melibatkan diri dalam pertempuran
dengan membawa pasukan dalam jumlah besar. Akhirnya satu persatu kota
penting di Spanyol, seperti Sidonia, Karmona, Seville dan Merida dapat
ditaklukkan.[16]
Dikisahkan bahwa Musa bin Nushair[17]
membakar semua kapal perangnya dengan tujuan agar pasukannya tidak
kembali lagi ke Afrika atau melarikan diri. Akhirnya, setelah berhasil
menaklukkan Semananjung Iberia (Spanyol), Musa bin Nushair
mendeklarasikan kawasan tersebut sebagai bagian dari kekuasaan Bani
Umayyah di Damaskus.[18]
Kemenangan demi kemenangan yang dicapai oleh pasukan Islam di Spanyol
tidak terlepas dari dua faktor; internal dan eksternal. Faktor eksternal
adalah suatu kondisi yang terdapat di negeri Spanyol sendiri. Pada saat
pasukan Islam melakukan ekspansi, kondisi sosial, politik dan ekonomi
di Spanyol berada dalam keadaan menyedihkan. Saat itu, penguasa Gothic
di Spanyol bersikap tidak toleran terhadap aliran-aliran agama yang
berkembang di Spanyol. Penganut agama Yahudi yang merupakan bagian besar
dari penduduk Spanyol dipaksa untuk dibabtis menurut ajaran Kristen.
Dalam kondisi seperti itu, kaum tertindas di Spanyol menanti kedatangan
juru selamat, dan juru selamat tersebut adalah pasukan Islam.[19] Faktor lainnya yang menjadi penyebab kekalahan Roderick adalah kondisi pasukannya yang tidak mempunyai semangat perang.[20]
Adapun faktor internal yang menyebabkan kemenangan pasukan Islam di
Spanyol adalah suatu kondisi yang terdapat dalam tubuh penguasa,
tokoh-tokoh pejuang dan prajurit Islam yang terlibat dalam pasukan
perang di Spanyol. Para pemimpin pasukan Islam adalah tokoh-tokoh yang
kuat, tentaranya kompak, bersatu dan penuh percaya diri. Hal terpenting
lainnya adalah ajaran Islam yang ditunjukkan oleh para tentara Islam,
yaitu toleransi, persaudaraan dan tolong menolong sehingga masyarakat
Spanyol dengan mudah bisa menerima kedatangan pasukan Islam.[21]
Badri Yatim, dalam bukunya mengemukakan bahwa sejak berhasil
ditaklukkan, Islam memainkan peranan besar di Spanyol yang berlangsung
lebih dari tujuh abad. Menurut Yatim, sejarah panjang umat Islam di
Spanyol dapat dibagi ke dalam enam periode;
1. Masa Periode Para Wali (711-755 M)
Periode pemerintahan Islam pertama di Spanyol berada di bawah
pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayyah yang
saat itu berpusat di Damaskus. Pada periode pertama ini, stabilitas
politik di Spanyol belum sempurna dan masih terjadi berbagai gangguan,
baik yang datang dari dalam, maupun dari luar.[22]
Ganggguan dari dalam, di antaranya berupa perselisihan anta relit
penguasa yang diakibatkan oleh perbedaan etnis dan golongan. Di samping
itu, juga terdapat perbedaan pandangan antara Khalifah Umayyah di
Damaskus dengan Gubernur Afrika Utara, di mana masing-masing pihak
saling klaim bahwa mereka-lah yang menguasai Spanyol. Hal ini pula yang
menyebabkan terjadinya dua puluh kali pergantian wali (gubernur) di
Spanyol dalam waktu yang singkat. Perbedaan politik tersebut juga
mengakibatkan sering terjadinya perang saudara di Spanyol.[23]
Adapun gangguan dari luar berasal dari sisa-sisa musuh Islam yang ada di
Spanyol. Mereka bertempat tinggal di daerah pegunungan dan tidak pernah
tunduk kepada pemerintahan Islam Spanyol. Karena sering terjadinya
konflik internal dan mendapat serangan-serangan dari luar, pada periode
ini Spanyol belum mampu melaksanakan pembangunan di bidang peradaban dan
kebudayaan. Periode para wali ini berakhir setelah datangnya Abdul
Rahman ad-Dakhil ke Spanyol pada tahun 755 M.[24]
2. Masa Keamiran (755-912 M)
Setelah berakhirnya periode pemerintahan para wali, untuk selanjutnya
Spanyol berada di bawah pimpinan para amir (panglima atau gubernur).
Pemerintahan Islam yang dipimpin oleh para amir di Spanyol tidak tunduk
kepada pusat pemerintahan Islam yang saat itu dipegang oleh para
khalifah Abbasiyah di Bagdad.[25]
Amir pertama yang memerintah di Spanyol setelah masa para wali adalah
Abdurrahman I yang diberi gelar ad-Dakhil (yang masuk ke Spanyol).
Abdurrahman ad-Dakhil masuk ke Spanyol pada tahun 755 M. Dia adalah
keturunan Bani Umayyah yang berhasil lolos dari serangan Bani Abbasiyah
yang saat itu telah berhasil menaklukkan Khilafah Bani Umayyah di
Damaskus.[26]
Abdurrahman ad-Dakhil berhasil menyingkirkan Yusuf ibn Abdurrahman
Al-Fihri yang menyatakan diri tunduk kepada kekuasaan Bani Abbasiyah
pada tahun 138 H/756 M. Abdurrahman ad-Dakhil memproklamirkan bahwa
Andalusia lepas dari kekuasaan Bani Abbasiyah dan dia memakai gelar
amir, bukan khalifah.[27]
Kekuasaan yang didirikan oleh Abdrahman ad-Dakhil mampu bertahan selama dua tiga per empat abad (756-1031).[28]
Para penguasa Spanyol pada masa Keamiran adalah: Abdurrahman ad-Dakhil,
Hisyam I, Hakam I, Abdul Rahman al-Ausath, Muhammad ibn Abdurrahman,
Munzir ibn Muhammad dan Abdullah bin Muhammad.[29]
Masa Keamiran di Spanyol mencapai puncak kejayaannya di bawah
pemerintahan amir ke delapan, Abdurrahman III (912-961) yang merupakan
pemimpin terkuat dan orang yang pertama sekali menyandang gelar
khalifah.[30] Abdurrahman III memilih sendiri gelarnya, yaitu Al-Khalifah An-Nashir li Din Allah (Khalifah penolong agama Allah).[31]
Pada periode pemerintahan di bawah para amir, Spanyol sudah mulai
memperoleh kemajuan, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang
peradaban. Abdurrahman ad-Dakhil pada saat itu mendirikan masjid Cordova
dan juga membangun sekolah di beberapa kota besar di Spanyol. Selain
Abdurrahman ad-Dakhil, beberapa amir lainnya juga telah berhasil
membangun peradaban di Spanyol. Hisyam dikenal berjasa dalam menegakkan
hukum Islam di Spanyol. Sementara itu, Hakam dikenal sebagai pembaharu
dalam bidang kemiliteran yang telah memprakarsai tentara bayaran di
Spanyol. Sedangkan Abdul Rahman al-Ausath dikenal sebagai penguasan yang
mencintai ilmu pengetahuan. Pada periode ini, pemikiran filsafat juga
sudah mulai masuk ke Spanyol sehingga kegiatan ilmu pengetahuan di
Spanyol sudah mulai marak.[32]
Meskipun demikian, stabilitas negara pada periode pemerintahan para amir
juga sempat terganggu dengan munculnya gerakan Kristen fanatik yang
mencari kesyahidan pada pertengahan abad ke-9. Namun, seluruh gereja
Kristen di Spanyol tidak mendukung gerakan tersebut karena jauh
sebelumnya pemerintahan Islam telah mengembangkan kebebasan beragama di
Spanyol.[33]
Gangguan politik paling serius pada masa ini justru datang dari umat
Islam sendiri. Gerakan pemberontak di Toledo pada tahun 825 M telah
berhasil membantuk negara kota yang berlangsung selama 80 tahun. Di
samping itu, perseteruan antara orang Arab dan Barbar juga terus terjadi
di Spanyol.[34]
3. Masa Kekhalifahan (912-1013 M)
Periode ketiga sejarah Islam di Spanyol, dimulai dari pemerintahan
Abdurrahman III sampai dengan munculnya raja-raja kelompok (Muluk
Thawaif). Pada periode ini, Spanyol diperintah oleh penguasa muslim yang
menggunakan gelar khalifah. Penggunaan gelar khalifah ini dipicu oleh
kondisi Daulah Bani Abbasiyah di Baghdad yang sedang berada dalam
kemelut dengan terbunuhnya Khalifah Al-Muktadir. Menurut Abdurrahman
III, penggunaan gelar khalifah pada saat itu sudah sangat tepat, setelah
gelar khalifah tersebut hilang dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150
tahun. Untuk pertama kalinya, gelar khalifah bagi penguasa Spanyol
digunakan pada tahun 929 M. Ada tiga orang khalifah besar yang
mengendalikan kekuasaan Islam di Spanyol, yaitu Abdurrahman III (912-961
M), Hakam II (961-976 M) dan Hisyam II (976-1009 M).[35]
Pemerintahan Abdurrahman III dan penerusnya Al-Hakam II, kemudian
dilanjutkan oleh kediktatoran Hajib al-Manshur menandai puncak kejayan
muslim di Barat. Sebelum dan sesudah periode ini, sebagaimana disebut
Hitti, Spanyol muslim tidak pernah mampu menggenggam pengaruh politik
sedemikian rupa, baik di Eropa maupun di Afrika.[36]
Pada periode ini, umat Islam di Spanyol berhasil mencapai puncak
kejayaan dan mampu menyaingi kejayaan Daulah Bani Abbasiyah di Baghdad.
Pada masa ini masyarakat Spanyol dapat menikmati kesejahteraan dan
kemakmuran.[37]
4. Muluk at-Thawaif (1013-1086 M)
Pada periode ini, kekuasaan Islam di Spanyol terpecah menjadi lebih dari
tiga puluh kerjaan kecil yang dipimpin oleh raja-raja golongan atau
Al-Muluk at-Thawaif. Pemerintahan ini terpusat di kota-kota tertentu,
seperti Seville, Cordova, Toledo dan sebagainya. Kerajaan terbesar pada
masa ini adalah Abbadiyah di Seville. Pada masa ini juga sering terjadi
perang saudara antara umat Islam, bahkan ada sebagian pihak yang meminta
bantuan kepada raja-raja Kristen. Disebabkan kondisi umat Islam yang
lemah pada saat itu, para penguasa Kristen mulai melakukan penyerangan.
Meskipun kondisi politik tidak stabil, namun pada masa Muluk at-Thawaif
ini kehidupan intelektual terus mengalami perkembangan.[38]
Kerajaan-kerajaan kecil pada masa Muluk at-Thawaif dipimpin oleh
orang-orang Barbar, Slavia dan Arab. Kerajaan kecil yang terkuat pada
masa ini, di antaranya: Bani Ibad di Seville, Alfasid di Bedajoz,
Al-Ziri di Granada, Zu al-Nun di Toledo dan Bani Hud di Saragossa serta
38 kerajaan kecil lainnya yang tersebar di wilayah Spanyol.[39]
Puncak berakhirnya Muluk Thawaif ditandai dengan jatuhnya Toledo ke
tangan Alfonso VI (1065-1109) yang pada saat itu berada dalam
pemerintahan Banu Zi an-Nun (1032-1085). Alfonso memanfaatkan
pertentangan raja-raja kecil Muluk at-Thawaif dengan memberikan bantuan
kepada salah satu pihak yang sedang bertikai.[40]
5. Reconquesta (Penaklukkan Kembali)
Periode penaklukan kembali Spanyol (reconquesta) dimulai sejak jatuhnya
kekhalifahan Umayyah pada abad ke-11. Namun demikian, para sejarawan
Spanyol menganggap bahwa pertempuran Covadonga pada tahun 718 M yang
dilakukan oleh pemimpin Asturia, Pelayo, yang berhasil memukul mundur
pasukan Islam merupakan tanda dimulainya penaklukan sesungguhnya.
Menurut Hitti, andai saja pasukan Islam menghancurkan sisa-sisa
kekuasaan Kristen di wilayah pegunungan utara, mungkin kisah Spanyol
selanjutnya akan sangat berbeda.[41]
Setelah sempat berhenti beberapa saat, karena mengurusi pertikaian
internal antar pemimpin Kristen di utara, proses perebutan kembali ini
menjadi lebih cepat karena Castile dan Leon telah bersatu pada tahun
1230 M. Pada paruh abad ke-13, penaklukkan kembali ini dengan
pengecualian Granada hampir tuntas dijalankan. Toledo direbut pada tahun
1085 M, diikuti Cordova tahun 1236 M dan Seville pada 1248 M.[42]
Reconquesta menampakkan dirinya sebagai sebuah gerakan yang bertujuan
membebaskan negeri Spanyol dari pengaruh Islam. Gerakan ini sekaligus
merupakan lambing pemberontakan umat Kristen terhadap pemerintahan Islam
dan kaum muslimin. Pemberontakan tersebut telang berlangsung selama
berabad-abad, akan tetapi gerakan ini tidak menyeluruh dan tanpa
koordinasi dengan baik.[43]
Gerakan Reconquesta baru terlaksana secara menyeluruh dan terkoordinasi
setelah akhir kekuasaan Bani Umayyah di Spanyol. Gerakan ini tidak
putus-putus memainkan peranannya dalam menyingkirkan Islam di Spanyol.[44]
6. Masa Dinasti Murabithun
Gerakan Al-Murabithun dimulai sekitar tahun 1039 M oleh seorang tokoh
muslim Maroko, Abdullah bin Yasin. Dia mendirikan sebuah benteng di
sebuah pula di sungai Nigeria. Benteng yang disebut ribat tersebut
didirikan sepanjang garis perbatasan antara dunia muslim dan non muslim.
Pada saat tidak berperang, mereka menghabiskan waktu untuk berzikir
kepada Allah di dalam ribat sehingga mereka disebut dengan Murabithun,
yaitu orang-orang yang menghuni ribat. [45]
Dinasti Murabithun pada awalnya adalah sebuah gerakan agama yang
didirikan oleh Yusuf in Tasyfin di Afrika Utara. Pada tahun 1062, dia
berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesy. Dinasti
Murabithun masuk ke Spanyol atas undangan para penguasa Islam di Spanyol
yang sedang kewalahan mempertahankan kekuasaan Islam akibat
serangan-serangan dari penguasa Kristen. Yusuf ibn Tasyfin bersama
pasukannya memasuki Spanyol pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan
pasukan Castilia.Kondisi Spanyol yang tidak stabil saat itu akhirnya
mendorong Dinati Murabithun untuk menguasai Spanyol. Akan tetapi,
penguasa Dinasti Murabithun sepeninggal Yusuf ibn Tasyfin adalah
orang-orang lemah sehingga pada tahun 1143 kekuasaan Dinasti Murabithun
berakhir, baik di Afrika Utara maupun di Spanyol. Pada saat Spanyol
dikuasi oleh Dinasti Murabithun, tepatnya pada tahun 1118 M, Saragossa
jatuh ke tangan Kristen. Sepeninggal Dinasti Murabithun ini, di Spanyol
kembali muncul dinasti-dinasti kecil yang berlangsung tiga tahun.
Selanjutnya kekuasaan Dinasti Murabithun digantikan oleh Dinasti
Muwahidun.[46]
Dinasti Murabithun berhasil merebut kota-kota di Spanyol, satu per satu.
Pada bulan November 1090 M, mereka berhasil merebut Granada dan disusul
oleh Seville. Satu-satunya kota yang masih berada dalam kekuasaan
Kristen dan tidak mampu direbut oleh Dinasti Murabithun adalah kota
Toledo. Pemerintahan Dinasti Murabithun sudah mulai stabil pada tahun
1102 M dan mulai saati itu Dinasti Murabithun menjadi sebuah dinasti
yang diperhitungkan sepanjang utara Afrika dan Spanyol. Keberadaan
Dinasti Murabithun di Spanyol juga telah berhasil mewujudkan kepastian
hukum, sehingga orang-orang Nasrani juga mendapat hak mereka sesuai
hukum yang berlaku. Dalam beberapa dasawarsa kemakmuran masyarakat
Spanyol terasa meningkat.[47]
Di atas kekuasaan golongan Murabithun, yang terdiri dari para muallaf
yang mewarisi tradisi Barbar memunculkan ledakan gairah keagamaan
fanatik di awal abad ke-12 yang pada gilirannya merugikan kaum Kristen,
Yahudi dan bahkan kaum muslimin liberal.[48]
Dalam bidang fiqh, Dinasti Murabithun menjadikan Mazhab Maliki sebagai
mazhab resmi dalam pemerintahannya. Meskipun Al-Ghazali merupakan salah
seorang ulama terkemuka yang mendukung Dinasti Murabithun untuk
menyerang Muluk at-Thawaif, namun penguasa dinasti tersebut memasukkan
karya-karya Al-Ghazali dalam daftar hitam hitam dan diperintah untuk
dibakar karena dianggap dianggap tidak sejalan dengan Mazhab Maliki.[49]
Selama lebih dari setengah abad, kekuasaan Murabithun begitu kuat di
Afrika Barat Daya dan Spanyol Selatan. Untuk pertama kalinya seorang
Barbar memainkan peran penting di panggung dunia.[50]
Selama menguasai Spanyol, Dinasti Murabithun telah menyelamatkan umat
Islam dari serangan Kristen, atau setidaknya mereka telah mampu menunda
kehancuran Islam di Spanyol. Dinasti Murabithun juga berhasil
mengalahkan perlawanan Alfonso IV.[51]
Dinasti Murabithun di Spanyol berumur pendek, kekuasaan dinasti tersebut
dilingkupi oleh lingkar nasib kerajaan-kerajaan Asiatik dan Afrika,
oligarki militer yang efesien dan diikuti kemalasan dan korupsi yang
mengarah pada disintegrasi dan kejatuhan.[52]
7. Masa Dinasti Muwahhidun
Dinasti Muwahhidun didirikan oleh Ibn Tumart yang wafat pada 1128 M.
Dinasti ini datang ke Spanyol di bawah pimpinan Abd Al-Mun’im. Antara
tahun 1114 dan 1154 M beberapa kota penting, seperti Cordova, Almeria
dan Granada berhasil direbut oleh Dinasti Muwahhidun. Selama berkuasa di
Spanyol, Dinasti ini mengalami banyak kemajuan. Kekuatan-kekuatan
Kristen dapat dipukul mundur. Pada tahun 1212 M, tentara Kristen
berhasil memperoleh kemenangan besar di Las Navas de Tolesa.[53]
Muhammad ibn Tumart yang digelari dengan Al-Mahdi, berkeinginan
memulihkan Islam ke dalam bentuknya yang asli. Dia mengajarkan kepada
para pengikutnya tentang doktrin tauhid, keesahan Tuhan dan konsep
sritual tentang Tuhan. Langkah ini merupakan bentuk protes kepada
antromorfisme yang berlebihan dan telah menyebar di kalangan umat Islam
kala itu.[54]
Setelah Abdul al-Mu’min meninggal (1163 M), penguasa al-Muwahhidun
terbesar lainnya adalah Abu Yusuf Ya’qub al-Mansur (1184-1199 M). Pada
masa ia berkuasa, Seville dijadikan sebagai ibu kota kerajaan untuk
Spanyol. Dia juga membantu kaum muslimin di Mesir yang sedang melawan
tentara Salib dengan mengirim 180 kapal kepada Salahuddin al-Aiyubi.
Masa pemerintahan al-Mansur ini dipandang sebagai masa keemasan bagi
Dinasti Muwahhidun.[55]
Perhatian utama Dinasti Muwahhidun adalah memenangi perang suci melawan
Kristen di Spanyol. Namun keinginan tersebut tidak berhasil dicapai.[56]
Disebabkan beberapa kakalahan yang dialami oleh Dinasti Muwahhidun,
akhirnya para penguasa Dinasti ini memilih untuk meninggalkan Spanyol
dan kembali ke Afrika Utara pada tahun 1235 M. Pasca ditinggalkan oleh
Dinasti Muwahhidun, keadaan Spanyol kembali kacau di bawah kekuasaan
raja-raja kecil. Kondisi tersebut menyebabkan umat Islam tidak mampu
bertahan dari serangan pasukan Kristen. Pada tahun 1238 M, Cordova jatuh
ke tangan Kristen dan disusul oleh Seville pada tahun 1248 M. Akhirnya,
seluruh Spanyol, kecuali Granada lepas dari kekuasaan Islam.[57]
8. Masa Bani Ahmar (1232-1492 M)
Pada periode keenam sejarah Islam di Spanyol, umat Islam hanya berkuasa
di daerah Granada yang dipimpin oleh Bani Ahmar. Pemerintah bani Ahmar
berdiri dan berkuasa di Spanyol selama 2,5 abad yang dipimpin oleh 32
orang Khalifah. Pada awalnya pergantian kepemimpinan dilakukan dengan
rasa ikhlas, tetapi lama kelamaan disebabkan nafsu terhadap kemewahan
banyak yang menyodorkan diri sebagai pemimpin. Kondisi ini akhirnya
menyebabkan terjadinya pergolakan politik dalam istana.[58]
Pada masa Bani Ahmar, peradaban Islam di Granada mengalami kemajuan
seperti di zaman Abdurrahman An-Nashir, tetapi sayangnya dinasti ini
hanya memiliki wilayah kekuasaan yang kecil.[59]
Kejayaan Bani Ahmar, mencapai puncaknya pada masa sultan Muhammad V
Al-Ghani Billah yang merupakan sultan ke delapan. Orang yang berusaha
mengembangkan tamaddun Islam di Spanyol terbagi kepada dua golongan.
Pertama, golongan Arab dan ahli pikir yang pindah ke Spanyol pada saat
Islam masuk ke sana. Kedua, adalah golongan yang lahir di Spanyol
sendiri. Golongan kedua ini adalah gabungan antara pendatang dengan
rakyat pribumi Islam di Spanyol.[60]
Kebudayaan umat Islam di Spanyol terhenti ketika terjadinya kemelut di
lingkungan istana akibat perebutan kekuasaan. Hal ini menyebabkan
hilangnya pamor Granada yang terkenal dengan peradaban dan keunikan
bangunannya. Bangunan megah terakhir yang didirikan oleh umat Islam di
Spanyol adalah istana Alhamra yang diselesaikan pada masa Sultan
Muhammad Al-Ghani Billah. Pada masa pemerintahan selanjutnya, kebudayaan
umat Islam di Spanyol tidak lagi menonjol.[61]
Kekuasaan Islam yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol
ini berakhir setelah terjadi konflik internal di tubuh Bani Ahmar. Abu
Abdullah Muhammad yang merasa tidak senang kepada ayahnya karena
menunjuk anaknya yang lain untuk menjadi raja, akhirnya melakukan
pemberontakan yang mengakibatkan ayahnya terbunuh. Kemudian pemerintahan
digantikan oleh Muhammad ibn Sa’ad. Abu Abdullah kemudian meminta
bantuan kepada Ferdinad dan Isabella untuk menjatuhkan pemerintahan
Muhammad ibn Sa’ad. Akhirnya, dua penguasa Kristen ini berhasil
menjatuhkan penguasa yang sah dan kemudian digantikan oleh Abu Abdullah.
Namun pada perkembangan selanjutnya, Ferdinand dan Isabella
berkeinginan untuk merebut kekuasaan Bani Ahmar yang merupakan kekuasaan
terakhir umat Islam di Spanyol.[62]
Tak lama setelah Muhammad XII (Zaghall) dikalahkan, Abu Abdullah diminta
oleh Ferdinand untuk menyerahkan kota yang baru dikuasainya. Pada musim
semi tahun berikutnya, Ferdinand bersama 10.000 tentara berkuda kembali
memasuki Granada dan menghancurkan lading-ladang pertanian dan kebun
buah-buahan. Kemudian Ferdinand mengepung benteng pertahanan terakhir
umat Islam di Spanyol dengan sangat rapat dengan maksud agar penguasa
muslim tersebut segera menyerah.[63]
Setelah mendapat serangan dari pasukan Kristen tersebut, akhirnya Abu
Abdullah menyerahkan kekuasaan Bani Ahmar kepada Ferdinand dan Isabella,
Abu Abdullah sendiri terpaksa hijrah ke Afrika Utara. Dengan demikian,
berakhirlah kekuasaan Islam di Spanyol pada tahun 1609 M.[64]
Sebelumnya, pada saat pasukan muslim telah menyatakan menyerah, penguasa
Kristen memberikan beberapa syarat kepada umat Islam di Spanyol.
Pertama, sultan beserta pejabatnya harus mengucapkan sumpah setia kepada
raja-raja Castile. Kedua, Abu Abdillah akan menerima sebidang tanah di
al-Basyarat. Ketiga, orang Islam dijamin keamanannya oleh hukum mereka
dan bebas menjalankan ajaran agamanya.[65]
Tetapi pada perkembangan selanjutnya, raja tertinggi dari penguasa
Kristen, Ferdinand dan Isabella melanggar syarat kesepakatan
perlindungan. Di bawah kepemimpinan pendeta kepercayaan Isabella, yang
bernama Kardinal Ximenez de Cisneros, kampanye untuk memaksa perpindahan
agama pun dilakukan, tepatnya pada tahun 1499. Kardinal tersebut
menarik buku-buku tentang Islam dan membakarnya. Saat itu, Granada
menjadi medan api tempat pembakaran naskah-naskah Arab. Semua orang
muslim yang tetap tinggal di Spanyol setelah penaklukkan Granada disebut
sebagai Moriscos, sebuah nama yang awalnya diterapkan kepada orang
Spanyol yang memeluk Islam.[66]
B. Kemajuan Peradaban Islam di Andalusia
Masuk dan berkembangnya Islam di Andalusia (Spanyol) selama lebih kurang
tujuh setengah abad telah membuka ckarawala baru dalam sejarah Islam.
Pada saat itu umat Islam di Spanyol telah mencapai kemajuan yang pesat,
baik di bidang ilmu pengetahuan maupun kebudayaan. Hal ini ditandai
dengan bermunculan figur-figur ilmuan yang sukses di bidangnya
masing-masing.[67]
Sampai dengan saat ini, buah karya ilmuan muslim di Spanyol telah
menjadi bahan rujukan para akademisi, baik di Barat maupun di Timur.[68]
Meskipun terjadi persaingan sengit antara penguasa Abbasiyah di Baghdad
dengan Umayyah di Spanyol, namun hubungan budaya dari Timur dan Barat
tidak selamanya berupa peperangan. Walaupun umat Islam berpecah dalam
beberapa kesatuan politik, tetapi kesatuan budaya Islami tetap terjaga
dengan baik. Bahkan, perpecahan umat Islam di Spanyol pada masa Muluk
at-Thawaif juga tidak menyebabkan mundurnya peradaban dan justru pada
masa itu merupakan puncak kemajuan ilmu pengetahuan, kesenian dan
kebudayaan Spanyol Islam. Muluk at-Thawaif juga disebut-sebut berhasil
mendirikan pusat-pusat peradaban baru yang lebih maju.[69]
Satu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa kemajuan peradaban Islam di
Spanyol pada saat itu telah berimbas pada bangkitnya Renaisans di dunia
Barat pada abad pertengahan sehingga dapat dikatakan bahwa Arab Spanyol
adalah guru bagi bangsa Eropa. Cordova sebagai ibukota Spanyol merupakan
pusat peradaban Islam yang tinggi sehingga dapat menyamai kemasyhuran
Baghdad di Timur dan Kairo di Mesir.[70]
Kemajuan Eropa yang terus berkembang sampai saat ini banyak berhutang
budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang di periode
klasik. Meskipun banyak saluran yang menjadi media bagi peradaban Islam
dalam mempengaruhi Eropa, namun Spanyol adalah saluran yang terpenting.
Salah satu tokoh yang paling berpengaruh di Eropa adalah Ibn Rusyd. Dia
telah melepaskan belenggu taklid dan menganjurkan kebebasan berpikir.
Demikian besar pengaruhnya di Eropa, sehingga menimbulkan gerakan
Averroisme (Ibn Rusyd). Berawal dari gerakan Averroisme ini-lah di Eropa
kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad
ke-17 M.[71]
Pengaruh peradaban Islam di Eropa, berawal dari banyaknya pemuda-pemuda
Kristen Eropa yang belajar di universitas-universitas Islam di Spanyol,
seperti: Universitas Cordoba, Seville, Malaga, Granada dan Salamanca.[72]
Adapun beberapa kemajuan intelektual dan fisik yang berhasil dicapai oleh umat Islam di Spanyol adalah sebagai berikut:
1. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Filsafat
Dalam bidang filsafat, Spanyol Islam telah merintis pembangunannya
sekitar abad ke-9 M selama pemerintahan Muhammad bin Abdurrahman. Kajian
tentang filsafat ini dilanjutkan oleh penguasa berikutnya, yakni
Al-Hakam (961-976 M) yang mengeluarkan kebijakan untuk mengimpor
karya-karya ilmiah dan filosofis dari Timur dalam jumlah yang besar.[73]
Kekuasaan Islam di Spanyol merupakan jembatan penyeberangan ilmu
pengetahuan Yunani dari Arab ke Eropa pada abad ke-12. Tokoh utama
dalam sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakar Muhammad ibn
Al-Sayigh yang lahir di Saragosa dan lebih dikenal dengan Ibn Bajjah.
Tokoh lainnya adalah Ibn Thufail yang lahir di sebuah dusun kecil
sebelah timur Granada.[74]
Pada akhir abad ke-12 juga muncul seorang pengikut Aristoteles yang berasal dari Andalusia (Spanyol).[75]
Beliau adalah Ibn Rusyd. Namanya mencuat karena pemikirannya dalam
filsafat telah membawa kemajuan pesat, tidak hanya di dunia Islam,
tetapi juga bagi dunia Barat.[76] Ibn Rusyd dilahirkan di Cordoba pada tahun 520 H/1126 M.[77]
Karya paling penting yang dihasilkan oleh Ibn Rusyd dalam bidang
filsafat adalah Tahafut at-Tahafut sebagai jawaban atas serangan
Al-Ghazali atas rasionalisme dalam karyanya Tahafut al-Falasifah. Berkat
karyanya tersebut, Ibn Rusyd menjadi filosof paling terkenal di dunia
muslim, sedangkan di kalangan Yahudi dan Kristen, dia dikenal sebagai
komentator Aristoteles.[78]
2. Bidang Geografi dan Sains
Spanyol Islam (Andalusia) juga banyak melahirkan ilmuan di bidang sains.
Dalam bidang Matematika, pakar yang paling terkenal adalah Ibn Sina.
Bidang Matematika juga melahirkan Ibn Saffat dan Al-Kimmy, keduanya juga
dikenal sebagai ahli di bidang teknik. Dalam bidang Fisika muncul tokoh
Ar-Razi yang telah berhasil membuat sejumlah substansi dan proses
kimiawi. Dalam bidang Kimia dan Astronomi, selain Abbas ibn Farmas juga
dikenal Ibrahim ibn Yahya An-Naqqash. Abbas ibn Farmas adalah penemu
pembuatan kaca dari batu, sedangkan Yahya An-Naqqash dikenal sebagai
orang yang dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari.[79]
Para tokoh muslim di Spanyol juga memperoleh prestasi di bidang ilmu
pengetahuan alam, terutama ilmu botani murni dan terapan. Mereka
melakukan berbagai penelitian yang akurat tentang perbedaan jenis
kelamin berbagai tanaman.[80]
Pada abad ke-12, di Seville, hidup Abu Zakariya Yahya ibn Muhammad ibn
Al-Awwam yang telah mampu menghasilkan karya di bidang agrikultur, yaitu
Al-Filahah. Karya ini tidak menjadi referensi penting di dunia Islam,
tetapi menjadi karya istimewa pada abad pertengahan. Buku tersebut
menjelaskan sekitar 585 jenis tanaman serta mengungkapkan
perkembangbiakan lebih dari 50 jenis buah. Tapi sayangnya, menurut
Hitti, buku yang sangat istimewa tersebut tidak terlalu dikenal oleh
penulis Arab.[81]
Ilmuan yang paling terkenal dalam bidang botani dan farmasi di Spanyol,
bahkan di seluruh dunia Islam, adalah Abdullah ibn Muhammad Al-Baythar
yang lahir di Malaga. Di antara karyanya adalah al-Mughni fi al-Adwiyah
al-Mufradah tentang pengobatan dan al-Jami’ fi al-Adwiyah al-Mufradah
yang merupakan catatan mengenai obat-obatan dari binatang, sayuran dan
mineral.[82]
Ahli obat-obatan lainnya adalah Ahmad ibn Ibas dari Cordova. Sementara
itu, Umm Al-Hasan binti Abi Ja’far dan saudara perempuan Al-Hafidz
adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.[83]
Ibn Al-Khatib (1313-1374 M) adalah dokter ternama di Granada. Dia telah
pernah mengarang sebuah buku tentang penyakit menular dan epidemia. Pada
saat itu Al-Khatib muncul di antara dokter-dokter di Eropa, dia
menerangkan dengan baik tentang bentuk dan penyebab penyakit epidemia.[84]
Selain itu, Ibn Khatima juga seorang dokter yang masyhur dan wafat pada
tahun 1369 M. Dia juga menulis tentang penyakit menular.[85]
Ahli geografi paling terkenal pada abad ke-11 M adalah Al-Bakri, seorang
Arab Spanyol. Al-Bakri adalah ahli geografi pertama dari muslim Barat
yang karyanya mampu bertahan sampai sekarang. Sedangkan penulis geografi
dan ahli kartografi paling cerdas pada abad ke-12 adalah Al-Idrisi,
seorang keturunan bangsawan Arab Spanyol. Setelah Al-Idrisi, kepustakaan
geografi berbahasa Arab dapat dikatakan tidak sepenuhnya menampilkan
originalitas, tapi lebih banyak bercerita tentang kisah para petualang.[86]
3. Bidang Sejarah dan Sosiologi
Dalam bidang sejarah, Spanyol Islam telah melahirkan banyak penulis
sejarah terkenal, di antaranya Zubair dari Valancia yang menulis sejarah
tentang negeri-negeri muslim di Mediterania serta Sisilia. Tokoh
lainnya, Ibn Al-Khatib yang menulis sejarah tentang Granada dan Ibn
Khaldun yang merumakan seorang perumus filsafat sejarah. Karya besar
lainnya yang ditulis oleh sejarawan Spanyol Islam adalah Tarikh Iftitah
Al-Andalus yang ditulis oleh Ibn Qutyah, dia lahir dan dibesarkan di
Cordoba, wafat pada tahun 977 M. Selain itu, karya besar lainnya ditulis
oleh Ibn Hayyan yang berjudul Al-Muqrabis fi Tarikh Ar-Rizal
Al-Andalus.[87]
Ibnu Khaldun adalah ahli sejarah yang sangat terkenal melalui karyanya
Miqaddimah. Sebagai seorang ilmuan yang mencoba merumuskan hukum-hukum
kemajuan dan kemunduran suatu bangsa, Ibn Khaldun juga dianggap sebagai
penemu sejati cabang ilmu sosiologi. Tidak ada penulis Arab, atau pun
Eropa yang pernah meletakkan sudut pandang sejarah dengan begitu
komprehensif dan filosofis. Menurut Hitti, semua pendapat kritis
bersepakat bahwa Ibn Khaldun merupakan filosof sejarah terbesar yang
pernah dilahirkan Islam sepanjang masa.[88]
Umat Islam di Spanyol juga melahirkan beberapa orang penulis biografi.
Salah satu yang pertama di antara mereka adalah Abu Al-Walid ibn
Abdullah Al-Faradhi yang lahir pada 962 M di Cordova. Satu-satunya karya
Ibn Al-Faradhi adalah Tarikh Ulama al-Andalus yang masih ada sampai
sekarang.[89]
4. Bidang Agama dan Hukum Islam
Umat Islam di Spanyol menganut Mazhab Maliki pada awalnya diperkenalkan
oleh Ziyad ibn Abdurrahman yang selanjutnya dikembangkan oleh Ibn Yahya
yang menjadi qadhi pada masa Hisyam bin Abdurrahman. Ahli Fiqih lainnya
yang terkenal di Spanyol adalah Abu Baki, Ibn Al-Qutiyah, Munzir, Ibn
Said Al-Batuthi dan Ibn Hazm. Selain itu, Ibn Rusyd yang juga ahli fiqih
telah menulis sebuah kitab fiqih monumental yang dinamai dengan
Bidayatul Mujtahid. Sampai dengan saat ini, kitab tersebut masih menjadi
rujukan dalam bidang fiqih, khususnya di Indonesia.[90]
Dalam bidang keagamaan, di Spanyol saat itu juga hidup sufi terkenal,
yaitu Abu Bakar Muhammad ibn Ali Muhyidin ibn Arabi. Dia dilahirkan di
Murcia pada tahun 1165 M dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di
Seville sampai 1202 M dan wafat di Damaskus pada 1240 M. Di antara
sekian banyak karyanya yang berpengaruh adalah al-Futuhat al-Makkiyah
dan Fishush al-Hikam.[91]
Kejayaan Islam di Andalusia juga memberi pengaruh pada perkembangan ilmu
tafsir. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Norasid dan Abdullah dalam
artikelnya, bahwa “pengajian ilmu tafsir pastinya menjadi salah satu
cabang ilmu fundamental yang bertapak seterusnya berkembang pesat di
Andalus selain teras ilmu hadith, Bahasa Arab, falsafah, perubatan,
astronomi dan sebagainya”.[92]
5. Bidang Musik dan Kesenian
Indikasi kemajuan bidang seni dan musik di Spanyol, ditandai dengan
berdirinya sekolah music di Cordoba yang didirikan oleh Zaryab, seorang
artis terbesar di zamannya. Zaryab adalah siswa sekolah musik Ishaq
Al-Mausuli di Baghdad. Sekolah tersebut akhirnya menjadi model bagi
sekolah musik lainnya yang bermunculan di Villa, Toledo, Valencia dan
Granada.[93]
Ziryab adalah seorang musisi yang pernah mengharumkan istana Harun
Ar-Rasyid yang tidak hanya memperoleh popularitas sebagai artis, tetapi
juga sebagai seorang ilmuan dan sastrawan. Ketenarannya itu menimbulkan
kecemburuan dari gurunya yang sama-sama populer, Ishaq Al-Maushuli.
Akhirnya Ziryab melarikan diri ke Afrika Barat Laut. Ziryab bersinar
sebagai seorang penyair sekaligus astronom dan ahli geografi. Ziryab
menjadi figur paling popular pada masa itu dan bahkan menjadi pencipta
tren.[94]
Perkembangan seni musik di Spanyol, memberikan pengaruh yang cukup besar
pada seni musik di kawasan Eropa. Ketika masyarakat Kristen menerima
model lirik lagu muslim, nyanyian Arab menjadi populer di seluruh
semenanjung Spanyol.[95]
Dalam bidang seni kerajinan, umat Islam di Spanyol menyebarkan dan
mengembangkan semua bidang seni dan kerajinan yang dikenal oleh umat
Islam. Dalam bidang kerajinan logam, yang meliputi seni dekorasi,
pengembangan pola-pola relief atau ukiran, kemudian melapisinya dengan
emas dan perak serta penggambaran berbagai karakter. Salah satu
peninggalan seni yang paling tua adalah gambar Hisyam V (976-1009 M)
yang terdapat di atas altar tinggi di Katedral Gerona di atas bentuk
peti mati kayu dilapisi sepuhan perak. Lukisan tersebut mengambil bentuk
repouse dengan beberapa lengkungan berbentuk Spiral.[96]
Salah satu bidang seni yang cukup berkembang adalah seni porselen dan
pelapisan logam. Impor produk-produk ini memberikan dasar yang baik bagi
pengembangan industry porselen di Poitier. Dari Spanyol, kemudian
industry tersebut diperkenalkan ke Italia. Dalam ragam bentuk karya seni
porselen, khususnya keramik lantai dan faince biru, muslim Spanyol
dikenal memiliki keistimewaan tersendiri.[97]
6. Bidang Bahasa dan Sastra
Di antara tokoh bidang bahasa dan sastra yang lahir di Spanyol adalah
Al-Qali, yang dikenal dengan karyanya Al-Kitab Al-Bari fil Al-Lughah dan
Az-Zubaidy, seorang ahli tata bahasa dan filologi.[98]
Tokoh lainnya dalam bidang sastra dan bahasa sebagaimana disebut oleh
Yatim dalam bukunya: Ibn Sayyidih, Ibn Malik pengarang Alfiyah, Ibn
Khuruf, Ibn Al-Hajj, Abu Ali Al-Isybili, Abu Al-Hasan ibn Usfur dan Abu
Hayyan Al-Gharnathi.[99]
Dalam bidang sastra, penulis yang paling terkenal adalah Ibn Abd Rabbihi
(860-940 M) dari Cordova yang merupakan penyair kesayangan Abdurrahman
III. Tapi pujangga terbesar dan memiliki pemikiran murni dari kalangan
muslim Spanyol adalah Ali ibn Hazm (994-1064 M).[100]
Selain itu, penyair terkenal lainnya adalah Abu al-Walid ibn Zaidun
(1003-1071 M). Dia dianggap oleh beberapa orang sebagai penyair terbesar
di Andalusia (Spanyol).[101]
Seiring dengan perkembangan sastra yang pesat di Spanyol, karya-karya
sastra-pun banyak bermunculan, di antaranya: Al-Iqd al-Farid karya Ibn
Abd Rabbih, Al-Dzakirah fi Mahasin Ahl al-Jazirah oleh Ibn Bassam dan
kitab Al-Qalaid karya Al-Fath ibn Khaqan.[102]
Puisi-puisi Arab memberikan kontribusi penting pada munculnya skema
sastra yang tegas tentang cinta platonic dalam bahasa Spanyol pada awal
abad ke-8.
7. Bidang Pembangunan Fisik
Dalam bidang fisik, Spanyol Islam telah mendirikan bangunan-banguan dan
berbagai fasilitas, seperti perpustakaan yang jumlahnya sangat banyak,
gedung pertanian, jembatan-jembatan air, irigasi, roda air dan
lain-lain. Istana-istana dan mesjid-mesjid besar yang megah serta tempat
pemandian dan taman juga disatukan dalam kota yang tertata dengan
teratur. Di Cordoba terdapat 700 mesjid dan 300[103]
buah pemandian umum. Istana Raja Az-Zahra yang dibangun di kaki gunung
dan menghadap sungai Quadalquiurr memiliki 400 buah ruangan. Di atas
istana tersebut terdapat jembatan yang melintasi sungai dengan
konstruksi lengkung sebagai penyangga.[104] Karena air sungai tidak dapat diminum, penguasa muslim juga membuat saluran air dari pegunungan sepanjang 80 km.[105]
Kemegahan Islam Spanyol juga dapat dilihat di Granada. Kota ini
mengambil tempat pada sebuah dataran tinggi yang tersubur dan termasyhur
di Spanyol. Rio Darro mengalir membelah jantung kota ini. Rio Darro
adalah sebuah kanal besar yang sangat panjang yang digali pada masa
pemerintahan Bani Ahmar di Granada. Kanal ini digali mulai dari
pegunungan Searra Nevada, yang membujur jauh di sebelah timur laut kota
Granada. Puncaknya selalu diselimuti salju dan memutih bersih saat
ditimpa sinar matahari.[106]
Orang-orang Arab di Spanyol telah memperkenalkan hidrolik untuk tujuan
irigasi; dam untuk mengecek curah air hujan dan waduk untuk konservasi
(penyimpanan air). Pengaturan hidrolik dibangun dengan memperkenalkan
roda air (water wheel) yang berasal dari Persia.[107]
Kaum Arab di Spanyol memperkenalkan metode pertanian yang dipraktikkan
di Asia Barat. Mereka menggali kanal-kanal, menanam anggur dan tanaman
lainnya. Mereka juga memperkenalkan padi, aprikot, persik, delima,
jeruk, tebu, kapas dan kunyit. Kemajuan pertanian merupakan salah satu
sisi keagungan peradaban Islam di Spanyol dan menjadi hadiah abadi yang
diberikan oleh orang Arab di daratan Eropa tersebut.[108]
Produk-produk industri dan pertanian Spanyol Muslim lebih dari cukup
untuk konsumsi domestik. Seville adalah satu pelabuhan besar yang
mengekspor kapas, zaitun, minyak dan kain. Melalui Iskandariyah dan
Konstantinopel produk-produk muslim Spanyol memperoleh pasarnya sampai
jauh ke India dan Asia Tengah. Pemerintah Spanyol juga membuat lembaga
mata uang dengan dinar sebagai satuan emas dan dirham sebagai satuan
perak. Uang Arab digunakan di kerajaan-kerajaan Kristen di Utara yang
hampir empat ratus tahun tidak memiliki mata uang, selain mata uang Arab
dan Perancis.[109]
Semua monument karya seni religius di Spanyol telah musnah, kecuali satu
yang paling tua dan paling indah, yaitu Mesjid Cordova. Sedangkan
monument-monumen non religius seperti istana Alcazar di Seville dan
Alhamra di Granada, dengan dekorasinya yang besar, megah dan indah
merupakan contoh peninggalam paling agung di Spanyol.[110]
Model dekorasi Spanyol muslim mencapai puncak kebesarannya pada
bangunan istana Dinasti Nashiriyah, yaitu Al-Hamra. Sebagian besar
dekorasi interior istana tersebut dipenuhi oleh kaligrafi . Bagian
paling indah dan paling agung adalah istana singa. Di tengah-tengah
istana tersebut terdapat dua belas patung singa yang terbuat dari
Porselen dan tegak berdiri dalam lingkaran.[111]
C. Runtuhnya Kerajaan Andalusia
Kekuasaan Islam di Spanyol telah banyak memberikan sumbangan yang tidak
ternilai bagi peradaban dunia saat ini. Tetapi imperium yang begitu
besar di daratan Eropa ini pada akhirnya juga mengalami nasib yang
sangat memilukan.[112]
Para penguasa muslim tidak melakukan Islamisasi secara sempurna di
Spanyol dan membiarkan penduduk Spanyol mempertahankan hukum dan adat
mereka. Pemerintah Islam terlalu cepat merasa puas hanya dengan setoran
upeti dari kerajaan-kerajaan Kristen asalkan mereka tidak melakukan
perlawanan bersenjata kepada pemerintah Islam.[113]
1. Lemahnya Kekuasaan Bani Umayyah II dan Bangkitnya Kerajaan-Kerajaan Kecil di Andalusia
Masa kejayaan Islam di Spanyol dimulai pada saat kendali pemerintahan
dipegang oleh Abdurrahman III dan dilanjutkan oleh puteranya, Hakam.
Pada masa kedua penguasa tersebut, keadaan politik dan ekonomi di
Spanyol mengalami puncak kejayaan dan kestabilan. Setelah Hakam II
wafat, dia digantikan oleh Hisyam II yang pada saat itu baru berusia 11
tahun. Karena usia yang masih sangat muda, Hisyam II tidak mampu
mengendalikan kekuasaan. Akhirnya roda pemerintahan dikendalikan oleh
ibunya dengan bantuan Muhammad ibn Abi Umar yang dikenal dengan Hajib
Al-Mansur, seorang yang haus kekuasaan. Akhirnya khalifah hanya
dijadikan sebagai boneka. Setelah Hajib Al-Mansur wafat, dia digantikan
oleh anaknya Abdul Malik Al-Muzaffar, kemudian Al-Muzaffar digantikan
oleh Abdurrahman yang gemar berfoya-foya serta tidak disenangi oleh
rakyat sehingga keadaan negara menjadi tidak stabil.[114]
Pada tahun 1009 M, khalifah mengundurkan diri, kemudian beberapa orang
mencoba untuk menduduki jabatan khalifah, tetapi tidak ada yang mampu
memperbaiki keadaan di Spanyol. Akhirnya pada tahun 1013, Dewan Menteri
yang memerintah Cordova menghapuskan jabatan khalifah sehingga Spanyol
terpecah dalam banyak sekali kerajaan kecil yang menguasai kota-kota
tertentu.[115]
Di sisi lain, munculnya Muluk Ath-Thawaif (dinasti-dinastin kecil)
secara politis juga menjadi sebab kemunduran Islam di Spanyol.
Melemahnya kekuasaan Islam di Spanyol, telah diketahui oleh orang-orang
Kristen sehingga mereka bersiap-siap untuk menyerang pemerintahan Islam.
Kerajaan Kristen Aragon berhasil Huesea pada tahun 1096 M, Saragosa
(1118 M), Tyortosa (1148 M) dan Kenida pada tahun 1149 M. Pada tahun
1212 M, koalisi raja-raja Kristen berhasil menaklukkan Las Navas De
Tolosa yang menyebabkan Dinasti Muwahhidun menarik diri dari Spanyol.
Sebagian besar kota penting yang awalnya dikuasai oleh Islam, akhirnya
satu per satu jatuh ke tangan pihak Kristen.[116]
Pada pertengahan abad ke-13, satu-satunya kota penting yang masih
dikuasai oleh Islam adalah Granada di bawah pimpinan Dinasti Ahmar. Pada
awalnya, para penguasa Kristen membiarkan keberadaan Dinasti Ahmar
dengan syarat membayar pajak kepada penguasa Kristen, tapi akhirnya di
antara mereka terjadi perselisihan sehingga kekuasaan Dinasti Ahmar
menjadi terancam. Selain itu, dalam tubuh Dinasti Ahmar sendiri juga
terjadi perebutan kekuasaan yang mengakibatkan munculnya perang saudara.
Akhirnya pada tahun 1492 M, Granada, yang merupakan benteng terakhir
umat Islam di Spanyol dapat dikuasai oleh penguasa Kristen Spanyol.[117]
Nasib umat Islam pasca penaklukan Granada oleh penguasa Kristen sangat
menyedihkan. Pada tahun 1556 M, penguasa Kristen melarang pakaian Arab
dan Islam di seluruh wilayah Spanyol, bahkan pada tahun 1566 M,
penggunaan bahasa Arab dilarang di Spanyol.[118]
2. Timbulnya Semangat Orang-Orang Eropa Untuk Menguasai Kembali Andalusia
Setelah berhasil menaklukkan Spanyol, para penguasan muslim tidak
melakukan Islamisasi secara sempurna dengan membiarkan penduduk Spanyol
memeluk agamanya serta diberi ruang untuk mempertahankan hukum dan
tradisi mereka sendiri. Pemerintah Islam hanya mewajibkan membayar pajak
kepada negara bagi penduduk Spanyol. Lambat laun, kondisi ini menjadi
bumerang bagi pemerintah Islam, di mana penduduk Kristen Spanyol terus
menyusun kekuatan untuk menggulingkan penguasa muslim.[119]
Pada perkembangan selanjutnya, di Spanyol bermunculan beberapa kerajaan
yang didirikan oleh orang-orang Kristen, di antaranya: Kerajaan Leon dan
Castile, Kerajaan Navarre dan Kerajaan Aragon. Kemelut yang diciptakan
oleh para penguasa Kristen ini juga menjadi pemicu melemahnya kekuasaan
Islam di Spanyol. Para penguasa Kristen tersebut bermaksud ingin
menguasai kembali Spanyol.
Dikisahkan bahwa, kelompok orang-orang Katholik yang menolak kehadiran
kaum muslimin di Spanyol melarikan diri ke perbatasan Spanyol bagian
Utara yang merupakan kawasan pegunungan dan terdiri dari lembah dan gua
sehingga cocok dijadikan sebagai tempat persembunyian. Mereka mengangkat
Pelayo (718-747 M) sebagai pemimpin pertama di pengasingan yang semasa
dengan amir Islam di Spanyol, Abdurrahman. Ibu kota kerajaan Katholik
ini berada di Cangas de Onis dan kemudian dipindahkan ke Oviedo pada
masa pemerintahan Alfonso II. Raja tersebesar Khatolik Spanyol adalah
Alfonso III yang semasa dengan Muhammad bin Abdurrahman II, pemimpin
Islam Andalusia (Spanyol).[120]
Ketika Garcia I (909-914 M) memerintah, ibu kota kekuasaan Katholik
dipindahkan ke Leon. Ketika Ordono III (951-956 M) naik tahta, dia
mengakui hegemoni kekhalifahan Islam di Spanyol yang saat itu dipimpin
oleh Abdurrahman An-Nashir. Para penguasa Kristen pada saat itu membayar
upeti kepada pemerintahan Islam.[121]
Pada abad ke-10, Kerajaan Kristen Navarre menampakkan kekuasaannya
setelah berhasil merebut sebagian wilayah Arragon. Pada saat
pemerintahan Sancho III Garces (1005-1035 M), dia menyatukan wilayah
Navarre, Castile, Leon dan Sobrarbe di bawah kekuasaannya.[122]
Kerajaan Kristen lainnya yang muncul di saat umat Islam Spanyol dalam
keadaan lemah adalah Kerajaan Aragon pada tahun 1035 M. Kemudian pada
tahun 1179 M, Alfonso dari Aragon membuat perjanjian dengan Kerajaan
Castile untuk memberikan kesempatan kepada Kerajaan Aragon menghadapi
Arab di Valencia.[123]
Perkembangan kerajaan Kristen Spanyol menjelang terusirnya umat Islam
dari Semenanjung Iberia tersebut lebih banyak terlibat pergolakan
politik dengan Perancis, Inggris, Portugal, Itali dan Sisilia.[124]
Pada perkembangan selanjutnya, Ferdinan II (1479-1516 M) dari Aragon
mengawini Isabella dari Castile dan menggabungkan kedua kerajaannya
menjadi satu. Gabungan dua kerajaan tersebut dikenal dengan Reyes
Catolicos atau dalam bahasa Inggris disebut dengan Catholic Kings.[125]
Setelah berhasil menaklukkan kekuasaan Islam di Spanyol, para penguasa
Kristen melakukan pemaksaan kepada umat Islam di Spanyol untuk berpindah
agama atau keluar dari Spanyol. Semua buku dan naskah-naskah berbahasa
Arab dibakar oleh para penguasa Kristen.
Umat Islam yang tetap tinggal di Spanyol, banyak di antara mereka yang
menjadi kripto-muslim, yaitu orang yang mengaku Kristen, tetapi secara
diam-diam mempraktikkan ajaran Islam. Sebagian umat Islam yang pulang
dari pesta pernikahan ala Kristen, kemudian secara diam-diam melakukan
pernikahan kembali sesuai dengan ajaran Islam. Banyak pula umat Islam
yang mengadopsi nama Kristen sebagai nama publik, tetapi menggunakan
nama Arab secara pribadi.[126]
D. Hancurnya Peradaban Islam di Andalusia
1. Hancurnya Kekuasaan Islam dan Rendahnya Semangat Para Ahli dalam Menggali Budaya Islam
Pada tahun 1212 M, umat Kristen mengadakan serangan besar-besaran ke
Spanyol dengan mengatasnamakan perang suci di Eropa. Mereka dapat
menghimpun bantuan sukarelawan yang terdiri dari orang-orang Perancis,
Jerman, Inggris dan Itali. Serangan tersebut dihadapi oleh pasukan
Khalifah Al-Mansur Billah bersama 600.000 tentara di Las Navas de
Toloso, sekitar 70 mil sebelah timur Cordova. Pada saat itu pasukan
Kristen dipimpin oleh Raja Castile, Alfonso VIII. Dalam pertempuran
tersebut pasukan Kristen dapat mengalahkan pasukan Islam dan menyebabkan
berkahirnya kekuasaan Al-Muwahhidun di Spanyol.[127]
Karim menyebutkan bahwa, kemunduran dan kehancuran Islam di Andalusia
disebabkan oleh para penguasa Islam yang cukup puas menerima upeti dari
penguasa Kristen dan tidak melakukan Islamisasi secara sempurna di
Spanyol. Sementara kehadiran bangsa Arab di Spanyol menimbulkan rasa iri
bagi penduduk Kristen dan kondisi ini turut membangkitkan rasa
kebangsaan umat Kristen di Spanyol. Selain itu, loyalitas militer Islam
sebagai tentara bayaran juga sangat diragukan. Di sisi lain, etnis-etnis
non Arab di Spanyol juga sering menjadi perusak perdamaian.[128]
Setelah kekalahan besar yang dialami Muwahhidun yang menewaskan ratusan
ribu umat Islam, pasukan Kristen yang memenangkan pertempuran tersebut
terus melakukan penaklukan Andalusia selama empat puluh tahun. Seluruh
wilayah Spanyol dikuasai Kristen, kecuali Granada.[129]
Namun demikian, seiring dengan serangan terhadap kekuatan kaum muslimin
di bagian utara, tekanan hebat juga terus dilancarkan oleh para
penguasa Kristen terhadap kaum muslim di Granada yang berada di kawasan
selatan Spanyol. Akhirnya Granada sebagai kekuasaan terkahir umat Islam
juga terpaksa menyerah kepada penguasa Kristen.[130]
Pada awal abad ke-16, seluruh Semenanjung Iberia (Spanyol) berada di
bawah kekuasaan Kristen. Setelah mereduksi kaum muslimin di Spanyol ke
dalam perbudakan, Gereja Katholik Roma kini berkonsentrasi untuk
menjadikan budak-budak muslim tersebut sebagai Kristen Trinitarian. Umat
Kristen di Spanyol terus melakukan usaha-usaha untuk mengeliminasi
semua umat Islam yang masih mempraktikkan nilai-nilai Islam di Spanyol.[131]
Proses pengalihan agama kaum muslimin ke dalam agama Kristen dipercepat
dengan cara memecah belah keluarga mereka. Berdasarkan dekrit yang
dikeluarkan oleh Ratu Isabella, semua pria di bawah usia 14 tahun dan
wanita di bawah usia 12 tahun harus dipisahkan dari keluarga mereka dan
diserahkan kepada Gereja Katholik Roma untuk dibesarkan sebagai Kristen
Trinitarian.[132]
2. Banyaknya Orang-Orang Eropa yang Menguasai Ilmu Pengetahuan dari Islam
Kemajuan berbagai peradaban dan ilmu pengetahuan di dunia Barat saat ini
tidak terlepas dari kontribusi besar umat Islam di Spanyol. Pada masa
itu, banyak orang-orang Eropa yang datang ke Spanyol untuk belajar
kepada umat Islam. Para mahasiswa asal Eropa yang datang ke Spanyol,
selain untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahun, mereka juga melakukan
penerjemahan berbagai karya umat Islam di Spanyol ke dalam
bahasa-bahasa Eropa.[133]
Setelah pulang dan memperoleh ilmu pengetahuan dari Spanyol, para
mahasiswa asal Eropa mendirikan sekolah dan universitas di negeri
mereka. Universitas pertama yang didirikan di Eropa adalah Universitas
Paris pada tahun 1231 M, tiga puluh tahun setelah wafatnya Ibn Rusyd. Di
akhir zaman pertengahan, di Eropa telah berdiri 18 universitas.[134]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada saat berada di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Walid bin Abdul
Malik, Daulah Bani Umayyah melakukan ekspansi besar-besaran ke Barat.
Pada masa pemerintahan Al-Walid yang berjalan lebih kurang sepuluh
tahun, pada tahun 711 M tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika
Utara menuju wilayah Barat Daya benua Eropa. Setelah menundukkan
Aljazair dan Maroko, pemimpin pasukan Islam, Thariq bin Ziyad bersama
pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko dengan benua
Eropa.
Dalam ekspedisi yang dilakukan oleh pasukan Islam tersebut, tentara
Spanyol dapat dikalahkan oleh pasukan Islam. Ibu Kota Spanyol, Cordova,
dengan cepat dapat dikuasai oleh pasukan Islam. Kemudian disusul oleh
kota-kota lain, seperti: Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan
sebagai ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordova.
Kemenangan demi kemenangan yang dicapai oleh pasukan Islam di Spanyol
tidak terlepas dari dua faktor; internal dan eksternal. Faktor eksternal
adalah suatu kondisi yang terdapat di negeri Spanyol sendiri. Pada saat
pasukan Islam melakukan ekspansi, kondisi sosial, politik dan ekonomi
di Spanyol berada dalam keadaan menyedihkan. Saat itu, penguasa Gothic
di Spanyol bersikap tidak toleran terhadap aliran-aliran agama yang
berkembang di Spanyol. Adapun faktor internal yang menyebabkan
kemenangan pasukan Islam di Spanyol adalah suatu kondisi yang terdapat
dalam tubuh penguasa, tokoh-tokoh pejuang dan prajurit Islam yang
terlibat dalam pasukan perang di Spanyol. Para pemimpin pasukan Islam
adalah tokoh-tokoh yang kuat, tentaranya kompak, bersatu dan penuh
percaya diri.
Periode pemerintahan Islam pertama di Spanyol berada di bawah
pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayyah yang
saat itu berpusat di Damaskus. Pada periode pertama ini, stabilitas
politik di Spanyol belum sempurna dan masih terjadi berbagai gangguan,
baik yang datang dari dalam, maupun dari luar. Setelah berakhirnya
periode pemerintahan para wali, untuk selanjutnya Spanyol berada di
bawah pimpinan para amir (panglima atau gubernur). Pemerintahan Islam
yang dipimpin oleh para amir di Spanyol tidak tunduk kepada pusat
pemerintahan Islam yang saat itu dipegang oleh para khalifah Abbasiyah
di Bagdad.
Periode ketiga sejarah Islam di Spanyol, dimulai dari pemerintahan
Abdurrahman III sampai dengan munculnya raja-raja kelompok (Muluk
Thawaif). Pada periode ini, Spanyol diperintah oleh penguasa muslim yang
menggunakan gelar khalifah. Pada periode ini, umat Islam di Spanyol
berhasil mencapai puncak kejayaan dan mampu menyaingi kejayaan Daulah
Bani Abbasiyah di Baghdad. Pada masa ini masyarakat Spanyol dapat
menikmati kesejahteraan dan kemakmuran.
Pada periode selanjutnya, kekuasaan Islam di Spanyol terpecah menjadi
lebih dari tiga puluh kerjaan kecil yang dipimpin oleh raja-raja
golongan atau Al-Muluk at-Thawaif. Pemerintahan ini terpusat di
kota-kota tertentu, seperti Seville, Cordova, Toledo dan sebagainya.
Meskipun kondisi politik tidak stabil, namun pada masa Muluk at-Thawaif
ini kehidupan intelektual terus mengalami perkembangan.
Periode penaklukan kembali Spanyol (reconquesta) dimulai sejak jatuhnya
kekhalifahan Umayyah pada abad ke-11. Namun demikian, para sejarawan
Spanyol menganggap bahwa pertempuran Covadonga pada tahun 718 M yang
dilakukan oleh pemimpin Asturia, Pelayo, yang berhasil memukul mundur
pasukan Islam merupakan tanda dimulainya penaklukan sesungguhnya.
Gerakan Reconquesta terlaksana secara menyeluruh dan terkoordinasi
setelah akhir kekuasaan Bani Umayyah di Spanyol. Gerakan ini tidak
putus-putus memainkan peranannya dalam menyingkirkan Islam di Spanyol.
Pada perkembangan selanjutnya, umat Islam di Spanyol dipimpin oleh
Dinasti Murabithun. Dinasti Murabithun berhasil merebut kota-kota di
Spanyol, satu per satu. Pada bulan November 1090 M, mereka berhasil
merebut Granada dan disusul oleh Seville. Satu-satunya kota yang masih
berada dalam kekuasaan Kristen dan tidak mampu direbut oleh Dinasti
Murabithun adalah kota Toledo. Pemerintahan Dinasti Murabithun sudah
mulai stabil pada tahun 1102 M dan mulai saati itu Dinasti Murabithun
menjadi sebuah dinasti yang diperhitungkan sepanjang utara Afrika dan
Spanyol.
Selanjutnya kekuasaan Dinasti Murabithun digantikan oleh Dinasti
Muwahidun. Perhatian utama Dinasti Muwahhidun adalah memenangi perang
suci melawan Kristen di Spanyol. Namun keinginan tersebut tidak berhasil
dicapai. Disebabkan beberapa kakalahan yang dialami oleh Dinasti
Muwahhidun, akhirnya para penguasa Dinasti ini memilih untuk
meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara pada tahun 1235 M.
Pasca ditinggalkan oleh Dinasti Muwahhidun, keadaan Spanyol kembali
kacau di bawah kekuasaan raja-raja kecil. Kondisi tersebut menyebabkan
umat Islam tidak mampu bertahan dari serangan pasukan Kristen.
Pada periode keenam sejarah Islam di Spanyol, umat Islam hanya berkuasa
di daerah Granada yang dipimpin oleh Bani Ahmar. Pemerintah bani Ahmar
berdiri dan berkuasa di Spanyol selama 2,5 abad yang dipimpin oleh 32
orang Khalifah. Pada masa Bani Ahmar, peradaban Islam di Granada
mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman An-Nashir, tetapi
sayangnya dinasti ini hanya memiliki wilayah kekuasaan yang kecil.
Kekuasaan Islam yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol
ini berakhir setelah terjadi konflik internal di tubuh Bani Ahmar.
Masuk dan berkembangnya Islam di Andalusia (Spanyol) selama lebih kurang
tujuh setengah abad telah membuka ckarawala baru dalam sejarah Islam.
Pada saat itu umat Islam di Spanyol telah mencapai kemajuan yang pesat,
baik di bidang ilmu pengetahuan maupun kebudayaan. Hal ini ditandai
dengan bermunculan figur-figur ilmuan yang sukses di bidangnya
masing-masing. Dalam bidang filsafat, Spanyol Islam telah merintis
pembangunannya sekitar abad ke-9 M selama pemerintahan Muhammad bin
Abdurrahman. Kajian tentang filsafat ini dilanjutkan oleh penguasa
berikutnya, yakni Al-Hakam (961-976 M) yang mengeluarkan kebijakan untuk
mengimpor karya-karya ilmiah dan filosofis dari Timur dalam jumlah yang
besar. Spanyol Islam (Andalusia) juga banyak melahirkan ilmuan di
bidang sains. Dalam bidang Matematika, pakar yang paling terkenal adalah
Ibn Sina. Para tokoh muslim di Spanyol juga memperoleh prestasi di
bidang ilmu pengetahuan alam, terutama ilmu botani murni dan terapan.
Dalam bidang sejarah, Spanyol Islam telah melahirkan banyak penulis
sejarah terkenal, di antaranya Zubair dari Valancia yang menulis sejarah
tentang negeri-negeri muslim di Mediterania serta Sisilia. Tokoh
lainnya, Ibn Al-Khatib yang menulis sejarah tentang Granada dan Ibn
Khaldun yang merumakan seorang perumus filsafat sejarah.
Umat Islam di Spanyol menganut Mazhab Maliki pada awalnya diperkenalkan
oleh Ziyad ibn Abdurrahman yang selanjutnya dikembangkan oleh Ibn Yahya
yang menjadi qadhi pada masa Hisyam bin Abdurrahman. Ahli Fiqih lainnya
yang terkenal di Spanyol adalah Abu Baki, Ibn Al-Qutiyah, Munzir, Ibn
Said Al-Batuthi, Ibn Hazm dan Ibn Rusyd.
Indikasi kemajuan bidang seni dan musik di Spanyol, ditandai dengan
berdirinya sekolah music di Cordoba yang didirikan oleh Zaryab, seorang
artis terbesar di zamannya. Zaryab adalah siswa sekolah musik Ishaq
Al-Mausuli di Baghdad. Sekolah tersebut akhirnya menjadi model bagi
sekolah musik lainnya yang bermunculan di Villa, Toledo, Valencia dan
Granada. Dalam bidang sastra muncul Ibn Abd Rabbihi (860-940 M) dari
Cordova yang merupakan penyair kesayangan Abdurrahman III. Tapi pujangga
terbesar dan memiliki pemikiran murni dari kalangan muslim Spanyol
adalah Ali ibn Hazm (994-1064 M).
Dalam bidang fisik, Spanyol Islam telah mendirikan bangunan-banguan dan
berbagai fasilitas, seperti perpustakaan yang jumlahnya sangat banyak,
gedung pertanian, jembatan-jembatan air, irigasi, roda air dan
lain-lain. Istana-istana dan mesjid-mesjid besar yang megah serta tempat
pemandian dan taman juga disatukan dalam kota yang tertata dengan
teratur.
Kekuasaan Islam di Spanyol telah banyak memberikan sumbangan yang tidak
ternilai bagi peradaban dunia saat ini. Tetapi imperium yang begitu
besar di daratan Eropa ini pada akhirnya juga mengalami nasib yang
sangat memilukan. Pada pertengahan abad ke-13, satu-satunya kota penting
yang masih dikuasai oleh Islam adalah Granada di bawah pimpinan Dinasti
Ahmar.
Nasib umat Islam pasca penaklukan Granada oleh penguasa Kristen sangat
menyedihkan. Pada tahun 1556 M, penguasa Kristen melarang pakaian Arab
dan Islam di seluruh wilayah Spanyol, bahkan pada tahun 1566 M,
penggunaan bahasa Arab dilarang di Spanyol. Umat Islam yang tetap
tinggal di Spanyol, banyak di antara mereka yang menjadi kripto-muslim,
yaitu orang yang mengaku Kristen, tetapi secara diam-diam mempraktikkan
ajaran Islam. Sebagian umat Islam yang pulang dari pesta pernikahan ala
Kristen, kemudian secara diam-diam melakukan pernikahan kembali sesuai
dengan ajaran Islam. Banyak pula umat Islam yang mengadopsi nama Kristen
sebagai nama publik, tetapi menggunakan nama Arab secara pribadi.
Pada awal abad ke-16, seluruh Semenanjung Iberia (Spanyol) berada di
bawah kekuasaan Kristen. Setelah mereduksi kaum muslimin di Spanyol ke
dalam perbudakan, Gereja Katholik Roma kini berkonsentrasi untuk
menjadikan budak-budak muslim tersebut sebagai Kristen Trinitarian. Umat
Kristen di Spanyol terus melakukan usaha-usaha untuk mengeliminasi
semua umat Islam yang masih mempraktikkan nilai-nilai Islam di Spanyol.
Kemajuan berbagai peradaban dan ilmu pengetahuan di dunia Barat saat ini
tidak terlepas dari kontribusi besar umat Islam di Spanyol. Pada masa
itu, banyak orang-orang Eropa yang datang ke Spanyol untuk belajar
kepada umat Islam. Setelah pulang dan memperoleh ilmu pengetahuan dari
Spanyol, para mahasiswa asal Eropa mendirikan sekolah dan universitas di
negeri mereka. Universitas pertama yang didirikan di Eropa adalah
Universitas Paris pada tahun 1231 M.
B. Saran-Saran
Kepada pihak perpustakaan Pascasarjana UIN Ar-Raniry diharapkan dapat
menyediakan buku-buku yang lengkap, khususnya terkait sejarah peradaban
Islam guna mempermudah mahasiswa dalam mencari literatur untuk penulisan
karya ilmiah.
Kepada mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry diharapkan untuk terus
mempelajari sejarah Islam secara komprehensif sebagai bahan pengetahuan
dan perbandingan guna melakukan perubahan-perubahan menuju kebangkitan
umat Islam di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Thomson dan Muhammad ‘Ata ‘Urrahim, Islam Andalusia: Sejarah Kebangkitan dan
Keruntuhan, terj. Kampung Kreasi, Ciputat: Gaya Media Pratama, 2004
Afrizal, Ibn Rusyd; Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, Jakarta: Erlangga, 2006
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Hepi Andi Bastoni, 101 Kisah Tabi’in, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006
Muhammad Ali Hanafiah dan Mustafa Abdullah, Variasi Aliran Tafsir di Andalus pada Era
Kerajaan Muwahhidun (540 H/1142 M-667/1268 M); Satu Tinjauan Awal, makalah
Akademi Pengkajian Islam, University Malaya, Kuala Lumpur, t.t
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher, 2009
Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam di Spanyol dan Implikasinya Terhadap Umat Islam di
Eropa, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2013
Not: Silahkan dikutip seperlunya bagi yang membutuhkan dengan syarat mencantumkan sumber blog ini. Tks
[1]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), cet. 25, hal. 43.
[2]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 114.
[3]Merduati,
Runtuhnya Kekuasaan Islam di Spanyol dan Implikasinya Terhadap Umat
Islam di Eropa, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007), hal.
8.
[4]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 43-44.
[5]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 88.
[6]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 8.
[7]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 89.
[8]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 114.
[9]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 89.
[10]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 114.
[11]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 118.
[12]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 9.
[13]Philip
K. Hitti, dalam bukunya, menyebutkan bahwa, pada saat bertemu di
Toledo, Musa bin Nushair mencambuk Thariq bin Ziyad dan
merantainya karena tidak mematuhi perintahnya untuk berhenti
sejenak pada tahap-tahap awal penyerbuan, tetapi kenyataanya Thariq
terus melancarkan upaya penaklukkan. Hal ini dipicu oleh
kecemburuan Musa bin Nushair atas keberhasilan yang dicapai
oleh Thariq bin Ziyad. Lihat: Philip K. Hitti, History of The Arabs,
terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2013), hal. 630-631.
[14]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 89-90.
[15]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 10.
[16]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 89-90.
[17]Musa
bin Nushari adalah penakluk wilayah Maroko dan Spanyol. Di masa
hidupnya dia sempat menyaksikan berbagai peristiwa, di antaranya
tragedy Usman bin Affan dan perang Shiffin antara Ali dan
Mu’awiyah. Lihat: Hepi Andi Bastoni, 101 Kisah Tabi’in, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal. 428. Meskipun Musa bin Nushair
telah berjasa dalam menaklukkan Afrika dan Spanyol,
namun menjelang akhir hayatnya, Musa seperti tidak dihargai oleh penerus
Al-Walid yang melemparkan Musa dalam jurang kehinaan. Musa dihukum
untuk berdiri di bawah terik matahari sampai kelelahan. Seluruh
kekayaan Musa juga disita dan akhirnya Musa menjadi seorang pengemis
di sebuah desa terpencil di Kawasan Hijaz, tepatnya di Wadi al-Qura.
Lihat: Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 633.
[18]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 115.
[19]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 91.
[20]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 119.
[21]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…., hal. 93.
[22]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 93-94.
[23]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 94.
[24]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 94.
[25]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 94-95.
[26]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 95.
[27]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…,hal. 115.
[28]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…,hal. 115.
[29]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 95.
[30]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 115.
[31]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 116.
[32]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 95.
[33]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 95.
[34]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 96.
[35]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 96.
[36]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 668-669.
[37]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 97.
[38]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 97-98.
[39]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 33.
[40]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 40.
[41]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 700.
[42]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 700.
[43]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 64.
[44]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 64-65
[45]Ahmad
Thomson dan Muhammad ‘Ata ‘Urrahim, Islam Andalusia: Sejarah
Kebangkitan dan Keruntuhan, terj. Kampung Kreasi, (Ciputat:
Gaya Media Pratama, 2004), hal. 103.
[46]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 98.
[47]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 36.
[48]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 690.
[49]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 37.
[50]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 689.
[51]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 35.
[52]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 45.
[53]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 99.
[54]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 694.
[55]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 39.
[56]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 697.
[57]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 99.
[58]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 52.
[59]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 99-100.
[60]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 53.
[61]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 74.
[62]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 99-100.
[63]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 704.
[64]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 100.
[65]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 705.
[66]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 706.
[67]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 119.
[68]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 120.
[69]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 106-107.
[70]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 120.
[71]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 108-109.
[72]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 109.
[73]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 120.
[74]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 101.
[75]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 102.
[76]Afrizal, Ibn Rusyd; Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal. ii.
[77]Afrizal, Ibn Rusyd…, hal. 18.
[78]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 743.
[79]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 121.
[80]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 731.
[81]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 732.
[82]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 733.
[83]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 102.
[84]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 56.
[85]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 56-57.
[86]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 724.
[87]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 122.
[88]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 724.
[89]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 720.
[90]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 122.
[91]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 747-748.
[92]Muhammad
Ali Hanafiah dan Mustafa Abdullah, Variasi Aliran Tafsir di Andalus
pada Era Kerajaan Muwahhidun (540 H/1142 M-667/1268 M); Satu
Tinjauan Awal, (makalah Akademi Pengkajian Islam, University
Malaya, Kuala Lumpur, t.t), hal. 38.
[93]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 122.
[94]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 654.
[95]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 765.
[96]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 754.
[97]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 755.
[98]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 121-122.
[99]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 103.
[100]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 709.
[101]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 712.
[102]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 103.
[103]Menurut
Badri Yatim, jumlah pemandian di Cordova saja sebanyak 900 pemandian.
Lihat: Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 105.
[104]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…,hal. 123.
[105]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 105.
[106]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 58.
[107]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 104.
[108]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 671-672.
[109]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 673.
[110]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 758-759.
[111]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 761.
[112]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…,hal. 123-124.
[113]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 107.
[114]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…,hal. 124.
[115]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 97.
[116]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…,hal. 125.
[117]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…,hal. 125.
[118]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…,hal. 125-126.
[119]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam…,hal. 124
[120]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 17.
[121]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 18.
[122]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 18-19.
[123]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 24-26.
[124]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 27.
[125]Merduati, Runtuhnya Kekuasaan Islam…, hal. 29.
[126]Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 706-707.
[127]M.
Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2009), cet. 2, hal. 248.
[128]M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran…, hal. 250.
[129]Ahmad Thomson dan Muhammad ‘Ata ‘Urrahim, Islam Andalusia…, hal. 203.
[130]Ahmad Thomson dan Muhammad ‘Ata ‘Urrahim, Islam Andalusia…, hal. 203-204.
[131]Ahmad Thomson dan Muhammad ‘Ata ‘Urrahim, Islam Andalusia…, hal. 221.
[132]Ahmad Thomson dan Muhammad ‘Ata ‘Urrahim, Islam Andalusia…, hal. 222.
[133]Munawiyah dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Banda Aceh: PSW IAIN Ar-Raniry, 2009), hal. 162.
[134]Munawiyah dkk, Sejarah Peradaban Islam, hal. 162
Sumber: http://patahkekeringan.blogspot.co.id
No comments:
Post a Comment