ADA banyak kisah dan peristiwa yang menarik dalam
sejarah Aceh untuk dibicarakan, terutama pada masa Perang Belanda di
Aceh (1873-1942) dan salah satu yang pernah dituliskan adalah Teuku
Umar.
Kehadiran Teuku Umar bukan sejarah yang menyenangkan bagi Belanda.
Suami Cut Nyak Dien ini mendapat cercaan dan sebutan “pengkhianat” oleh
Belanda namun juga dihadiahi gelar ‘Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar
Nederland’.
Teuku Umar yang hidup pada masanya (1854-1899) sejak dari dulu sampai
sekarang masih menimbulkan tanda tanya besar, mengapa? Tokoh yang satu
ini memang mengundang decak kagum serta terdapat kontroversi di
dalamnya.
Tidak sedikit pula misteri yang tersimpan dalam diri sosok yang
bernama Teuku Umar Johan Pahlawan. Bagaimana ia mampu meyakinkan Belanda
dengan berpura-pura menjadi antek Belanda, kemudian insiden Kapal
Nicero tahun 1884 yang melibatkannya adalah salah satu bentuk
kejeniusannya.
Dua Rupa Wajah Umar
116 tahun yang lalu, kita mengenal seorang tokoh sekaligus penjuang
Aceh berdarah Minangkabau, Teuku Umar. Katanya, Teuku Umar satu-satunya
pemimpin perang Aceh yang pindah langsung dari pasukan Aceh ke Belanda.
Dia dicap pengkhianat oleh publik, namun menjadi idola di hati rakyat
Aceh. Teuku Umar adalah salah satu kisah diantara banyak cerita yang
muncul diseputaran perang Belanda di Aceh. Umar menjadi salah satu dari
sekian banyaknya orang Aceh yang mendukung Belanda, namun Umar berbeda
dengan cuak Aceh yang mendukung Belanda, meskipun gelar “pengkhianat”
tetap melekat pada dirinya.
Seperti yang terjadi pada tokoh sejarah Aceh ini, sebelumnya, Pang
Tibang mengalami hal serupa, karena dianggap tidak mampu melobi dunia
internasional, gelar pengkhianat pun disandangnya, dia disebut
sedemikian bisa saja ia tidak mampu berdialog dalam bahasa asing. Teuku
Umar memang berbeda dengan Pang Tibang.
Teuku Umar yang semula mendukung penuh dan memimpin pasukan Aceh
melawan Kolonial Belanda, tiba-tiba berbalik haluan. Pada tahun 1883
Teuku Umar datang untuk menyerahkan diri kepada Gubernur Van Teijin dan
siap mendukung pasukan Belanda. Umar masuk dinas militer dan siap
melawan pasukan Aceh.
Ketika Teuku Umar bergabung dengan pasukan Belanda, ia menundukkan
pos-pos pertahanan Aceh. Teuku Umar pun diberi peran yang lebih besar
oleh Belanda. Namun, hatinya tetap milik orang Aceh, strategi tersebut
hanyalah tipuan belaka untuk mengambil senjata Belanda. Hal serupa juga
dilakuakan olehnya pada tahun 1893, kali ini ia menyerah kepada Gubernur
Deykerkhooff di Kutaraja. ‘Dua rupa’ wajah Teuku Umar kembali
diperlihatkan.
Tiga tahun memperkuat Belanda pada periode kedua, Teuku Umar
benar-benar telah menyakinkan Belanda dengan kesetiaannya. Ia berubah
menjadi orang Eropa. Momen itu berlangsung antara kurun waktu 1893-1896,
sebelum peristiwa suatu hari ditanggal 11 Februari 1899 yang
mengantarkan “Teuku Umar Johan Pahlawan” ke daerah Mugo untuk
peristirahatan selama-lamanya. Namun tiga tahun setelah mengabdi, ia
kembali membuat kejutan besar saat dia memutuskan kembali ke pangkuan
Aceh dan memimpin pasukannya.
‘Manipulasi’ Teuku Umar
Teuku Umar dikenal pandai dalam psy war dan memanipulasi kata-kata.
Keahlian ini tentu sudah banyak yang mengetahui. Terutama kepiawian
memanipulasi taktik ketika menghadapi suatu peperangan. Memobilisasi
massa, membakar semangat rakyat, dan berorasi di depan pasukan Aceh
sepertinya sudah identik dengan tugas Teuku Umar baik sebelum maupun
sesudah berperang dengan Belanda.
Suatu ketika, saat Teuku Umar berbincang dengan istrinya Cut Nyak
Dhien, ia ditanya istrinya mengapa dia berpihak kepada Belanda. Umar pun
menjawab dengan tegas setelah mendengar pertanyaan tersebut. “Mereka
tidak tahu, biarkan saja sejarah yang membuktikannya,” demikian
jawabnnya. Sebuah jawaban yang mengandung banyak makna. Atau juga dapat
dilihat bagaimana ia memanipulasi kata-kata untuk merebut hati Cut Nyak
Dhien dan berhasil menikahinya.
Memang benar pada masa itu, tanpa diduga-duga Teuku Umar ‘berpihak’
kepada Belanda setelah sekian lama berjuang bersama-sama dengan pasukan
Aceh. Seperti diketahui, pasukan Aceh dibawah kepemimpinannya kalah
logistik perang setelah membandingkan persenjataan Aceh dengan Belanda.
Itulah yang menjadi titik fokus Teuku Umar dan harus menyeberang ke
pihak lawan.
Hal ini jelas menimbulkan pro dan kontra dikalangan rakyat Aceh sejak
tempo dulu sampai dengan sekarang dan selalu menjadi topik sejarah yang
menarik untuk dibicarakan.
Dengan kata lain, Teuku Umar ingin menunjukkan bahwa sebenarnya
secara kualitas pasukan Aceh di wilayah Meulaboh tidak kalah hebatnya
dengan pasukan Belanda. Bilapun ada makna lain, bisa jadi ia ingin
mengatakan bahwa pasukan Belanda tidak akan mampu berperang dengan Aceh
apabila alat persenjataan dan logistik perang lainnya persis sama dengan
yang dimiliki pasukan Aceh pada saat itu. Terbukti, pada pertempuran di
Meulaboh yang lagi memanas, Belanda dibuat kewalahan oleh pasukan Aceh
atas sengitnya perlawanan yang diberikan. Akibatnya, Belanda kerap
menggantikan pimpinan perang.
Itulah Teuku Umar yang memiliki pola pemikiran yang tidak biasa
dengan persepsi orang kebanyakan. Boleh dikatakan, dia menggeser sudut
pandangan. Inilah yang kemudian membuat Umar memecah opini banyak orang.
Teuku Umar yang sejak semula sangat menentang kehadiran Belanda di
Meulaboh, kemudian malah berpihak Belanda, meski ujungnya, kembali
kepangkuan Aceh.
Tentang Teuku Umar, tidak sedikit yang mengagung-agungkannya karena kejeniusannya berolah kata, meracik taktik perang dan sebagai simbol pemimpin rakyat Aceh di Meulaboh tidak dapat diragukan lagi. Namun, tidak sedikit pula yang menyebutnya sebagai pengkhianat. Belanda sendiri memecatnya dan mencabut gelar ‘Johan Pahlawan’ yang disandangkannya.
Tentang Teuku Umar, tidak sedikit yang mengagung-agungkannya karena kejeniusannya berolah kata, meracik taktik perang dan sebagai simbol pemimpin rakyat Aceh di Meulaboh tidak dapat diragukan lagi. Namun, tidak sedikit pula yang menyebutnya sebagai pengkhianat. Belanda sendiri memecatnya dan mencabut gelar ‘Johan Pahlawan’ yang disandangkannya.
Salah satu yang menarik dari taktik perangnya adalah Umar tidak hanya
mempersiapkan pasukannya dengan taktik defensif dan ofensif, tetapi
juga membakar mental para pasukannya dengan ucapan yang menggairahkan.
Ia menggambarkan Belanda sebagai kaphe, lalu melanjutkan dengan
ucapan “Udep Share Matee Syahid.” Umar menggunakan kondisi itu untuk
membakar semangat pasukannya agar berperang mati-matian dengan pasukan
Belanda yang dilengkapi dengan senjata modern.
Surga pun telah menanti
Di medan perang, taktik Umar pun terkadang bisa sama sulitnya untuk
ditebak. Memang, taktik milik Umar tidak hanya berpatok penyerangan
terhadap Belanda. Sebagai seorang yang piawai dalam mikro-taktik perang,
setidaknya Umar telah membagi dua pasukan Aceh. Satu pasukan Aceh
ditempatkan dihutan untuk terus bergerilya, dan satu pasukan lagi tetap
berada diperkampungan agar terus memberikan perlawanan terhadap Belanda.
Setiap pasukan Aceh dibawah pimpinannya yang berada di medan area
biasanya sudah mempunyai roel (tugas dan peran) masing-masing. Dan
biasanya role tersebut diberikan dengan amat detil. Bukankah Umar tidak
mengandung filosofi ajeg bagaimana sebuah pasukan Aceh harus bertahan.
Teuku Umar tahu bahwa pasukan Belanda akan melakukan taktik bumi
hanguskan, man-marking terhadap pasukan Aceh secara habis-habisan, dan
dia tidak salah. Pasukan Belanda telah di intruksikan untuk penjagaan
ketat, mendirikan pos-pos militer, dan melancarkan serangan yang membabi
buta. Namun, bukannya pasukan Aceh yang terpedaya, malah pasukan
Belanda mengalami frustasi atas sengitnya perlawanan dari pasukan Aceh.
Taktik berpindahnya Teuku Umar ke pihak Belanda masih menjadi misteri
mengapa Umar melakukan hal tersebut. Salah satu argumen yang populer
menyebut, Umar tidak puas dengan persenjataan yang dimiliki pasukan
Aceh. Mengingat ketika itu alat perang pasukan Belanda jauh lebih
canggih daripada pasukan Aceh. Teuku Umar seolah-olah mengatakan kepada
pasukannya bahwa ia tidak punya pilihan lain dan harus menjadi orang
Eropa. Untuk pasukan Aceh, Umar seolah mengatakan, “kalau saya
bergabung, sudah pasti saya akan merebut senjata Belanda dan akan
kembali berperang bersama kalian melawan kaphe-kaphe Belanda.”
Di satu sisi, ‘pembelokkan’ yang dilakukan Teuku Umar seperti sebuah
keuntungan besar bagi Belanda untuk memudahkan misi-misi mereka di Aceh.
Namun, jangan lupa, Belanda akan menghadapi Teuku Umar dengan pasukan
Aceh. Jika saja, suatu hari itu 11 Februari 1899 tidak terjadi apa-apa,
siapa tahu, Teuku Umar yang memiliki segundang misteri itu, punya
rencana berikutnya dan manipulasi-manipulasi Umar yang tersembunyi.
Selamat jalan Teuku Umar Johan Pahlawan, 11 Februari 1899 – 11 Februari 2015, perjuangan mu tetap kami kenang.
Sumber: https://www.hidayatullah.com
No comments:
Post a Comment