Kartosuwiryo. Sumber: ausathmedia.wordpress.com |
“Bila kalian ingin Indonesia ini makmur sentosa dan ridha Allah,
maka lawanlah Soekarno. Bila kalian ingin Indonesia makmur sentosa
tetapi dalam laknat Allah, maka tembaklah saya dan berpihaklah dengan
Soekarno, mana yang kalian pilih?” (Kartosuwiryo)
Bait-bait kalimat penuh makna yang diucapkan oleh Kartosuwiryo tersebut penulis kutip dari blog http://abuqital1.wordpress.com.
Bagi penulis, ucapan Kartosuwiryo tersebut, meskipun terkesan
provokativ, namun memiliki makna positif jika dipahami dengan hati yang
putih. Kalimat tersebut mengajarkan kita semua kepada sebuah nilai suci
yang harus dipertahankankan demi tegaknya Islam di bumi pertiwi.
Menyimak kalimat di atas, secara lahiriah kita akan menyimpulkan bahwa
Soekarno adalah musuh besar Kartosuwiryo. Tapi menurut penulis, pada
prinsipnya yang menjadi musuh Kartosuwiryo bukanlah Soekarno dalam arti
yang hakiki. Namun sebagai seorang muslim, Kartosuwiryo benci kepada
konsep-konsep sekular yang dihembuskan oleh Soekarno kala itu. Perlu
pula diingat, bahwa sekularisme bukan cuma musuhnya Kartosuwiryo, tapi
musuh kita semua – umat Islam.
Kartosuwiryo adalah seorang tokoh yang dilahirkan 7 Januari 1907 di
Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah
perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Semenjak tahun 1923,
Kartosuwiryo sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan
pemuda Jong Java. Kemudian pada tahun 1925, ketika anggota-anggota Jong
Java yang lebih mengutamakan cita-cita keislamannya mendirikan Jong
Islamieten Bond (JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena
sikap pemihakannya kepada agamanya (www.globalmuslim.web.id).
Terkait dengan keinginan mendirikan Negara Islam yang dikemudian hari
dipelopori oleh Kartosuwiryo, menurut Dengel sebagaimana dikutip oleh
Ausop (2011) merupakan reaksi balik atas hasil Perjanjian Renville
antara Indonesia dan Belanda. Salah satu butir perjanjian tersebut
menyatakan bahwa TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya
di wilayah pendudukan di Jawa Barat.
Penting juga untuk diketahui bahwa pra kemerdekaan ada tiga idiologi
politik besar yang saling berebut pengaruh di panggung sejarah
Indonesia, idiologi dimaksud adalah Islam, Marxisme dan Nasionalis
Sekuler (Ausop, 2011). Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa Soekarno
berada dalam lingkaran Nasionalis Sekuler, sedangkan Kartosuwiryo tetap
teguh pada idiologi Islam. Di samping itu idiologi Marxisme secara rapi
dikampanyekan oleh orang-orang PKI.
Van Dijk sebagaimana dikutip Ausop (2011) mengisahkan bahwa pada saat
sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, tepatnya pada 14
Agustus 1945, Kartosuwiryo dalam waktu yang bersamaan (14 Agustus 1945)
juga memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia, namun pernyataan
proklamasi tersebut ditarik kembali oleh Kartosuwiryo setelah mendengar
pernyataan kemerdekaan RI oleh Soekarno dan Hatta. Baru kemudian pada 7
Agustus 1949 Kartosuwiryo secara resmi kembali memproklamirkan
berdirinya NKA NII. Patut diketahui bahwa pada saat proklamasi NII
tersebut diumumkan oleh Kartosuwiryo, daerah Jawa Barat yang merupakan
basis NII sedang berada dalam keadaan vacuum of power – di mana daerah
tersebut tidak dikuasi oleh Belanda dan tidak pula oleh TNI (Ausop,
2011). Dengan demikian klaim “bughah” alias pemberontakan terhadap
Kartosuwiryo sangat tidak tepat – jika tidak ingin dikatakan keliru.
Pada perkembangan selanjutnya, Gerakan NII terjadi di empat wilayah,
yaitu: Jawa Barat yang dipimpin langsung oleh Kartosuwiryo sebagai Imam,
NII Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fatah, NII Sulawesi Selatan dipimpin
oleh Kahar Muzakkar, di Kalimantan dipimpin oleh Ibnu Hajar dan NII
Aceh dipimpin oleh Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh (www.sejarahkita.comoj.com).
Sayangnya gerakan NII tersebut akhirnya berhasil ditumpas oleh
pemerintah, Kartosuwiryo sendiri berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman
mati, Kahar Muzakar gugur setelah ditembak pasukan TNI, sedangkan Tgk.
Muhammad Daud Beureu-eh dengan berbagai pertimbangan akhirnya turun
gunung dan kembali ke pangkuan Republik Indonesia.
Sejarawan dan budayan Fadli Zon
dalam bukunya “'Hari terakhir Kartosoewirjo“ berhasil mengungkap
misteri kematian Kartosuwiryo melalui 81 foto eksekusi. Dalam buku
tersebut terungkap bahwa Kartosoewirjo dieksekusi mati dan dikuburkan di
Pulau Ubi, Kepulauan Seribu (www.merdeka.com).
Eksekusi yang dilakukan terhadap Kartosuwiryo tersebut telah direstui
secara sadar oleh Soekarno, padahal mereka sempat tinggal dan hidup
bersama serta berguru kepada HOS Cokroaminoto. Tragis plus dilematis.
Setelah menyimak sekelumit riwayat yang telah penulis sajikan di atas,
kira-kira pelajaran apa yang bisa kita petik dari kisah tersebut? Tentu,
setiap kita memiliki jawaban yang beragam. Bagi kaum Nasionalis
Sekuler, Kartosuwiryo hanyalah seorang pemberontak yang memang pantas
untuk dihabisi karena dianggap membahayakan Republik ini, sedangkan bagi
sahabat-sahabat kita yang pro Komunis (Marxis) tentu sangat bergembira
menjelang dilakukannya eksekusi terhadap Kartosuwiryo, mengingat
idiologi yang diusung oleh Kartosuwiryo bertolak belakang dan bahkan
berbenturan dengan konsep Marxis-Komunis-Atheis yang diusung oleh PKI.
Lantas bagaimana dengan kaum muslimin di negeri ini? Apa kita juga perlu
bertaqlid kepada Mazhab Sekuler dan Marxis? Dalam konteks demokrasi
tentunya kita berhak memilih “mazhab” mana saja yang sesuai dengan jiwa
kita masing-masing.
Namun satu hal perlu diingat, bahwa kemerdekaan Indonesia tidak terlepas
dari peran besar kaum muslimin yang rela mengorbankan harta, jiwa dan
raga demi berkibarnya Merah Putih. Jihad yang dilakukan oleh para
pejuang muslim semisal Pangeran Deponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Sultan
Hasanuddin, Teungku Chiek di Tiro dan sederatan pejuang muslim lainnya
tidak dapat dipandang sebelah mata. Sudah sepatutnya diakui, bahwa pada
prinsipnya kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaannya kaum muslimin,
meskipun peran pejuang lain juga tidak bisa dipungkiri, namun kontribusi
yang berikan umat Islam cukup besar.
Meskipun di satu sisi, oleh sebagian pihak Kartosuwiryo dianggap sebagai
pemberontak, namun di sisi lain, nilai-nilai Islam yang dicoba wujudkan
oleh Kartosuwiryo dalam gerakan NII-nya juga patut dihargai dan bahkan
diapresiasi, khususnya oleh umat Islam. Penulis tidak mengajak siapapun
untuk mendukung NII, tidak pula mendukung Kartosuwiryo – apalagi NII KW
IX yang telah jelas-jelas menyimpang dari ajaran Kartosuwiryo dan juga
ajaran Islam.
Yang perlu mendapat perhatian kita sekarang adalah bagaimana menerapkan
nilai-nilai Islam dalam kehidupan kita dan menolak segala bentuk
pelecehan dan kemungkaran yang dipaksakan oleh gembong Sekularisme dan
juga antek-antek Komunis dengan berbagai isu dan semboyan semisal
“Pluralisme Agama” dan semboyan-semboyan menyesatkan lainnya. Kita juga
mesti secara tegas menolak segala bentuk pamer aurat yang dilakoni oleh
artis-artis kita yang notabene sebagian besarnya juga beragama Islam.
Kita juga tidak sepakat dengan berbagai ajang maksiat seumpama Miss
World dan ajang sejenisnya yang tidak pantas berlangsung di bumi
Indonesia yang telah susah payah diperjuangkan oleh kaum muslimin.
Hari ini, 12 September 2013, genap 51 tahun Kartosuwiryo meninggalkan
dunia fana ini. Namun semangat Kartosuwiryo untuk mempertahankan
nilai-nilai Islam tidak boleh pupus dan harus terus berlanjut serta
diteruskan secara estafet dari generasi ke generasi, tentunya dalam
konteks Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dulu,
Kartosuwiryo berjuang melalui NII, sekarang kita berjuang dengan metode
kita sendiri sesuai kemampuan kita. Wallahul Waliyut Taufiq.
Sumber: http://patahkekeringan.blogspot.co.id
No comments:
Post a Comment