ABSTRAK
Keberadaan Pegawai
Negeri Sipil (PNS) menjadi
kata kunci dari
keberlangsungan suatu negara terutama dalam
pelayanan publik.
Peran besar yang diemban oleh PNS inilah
yang
menjadikan PNS dibutuhkan
oleh masyarakat
dan
memiliki kedudukan
strategis dalam kehidupan bernegara dan ber-masyarakat.
Selain itu PNS juga menjadi simbol berlangsungnya sistem dan identitas
dari kepemerintahan apakah berjalan
dengan baik dan
bersih ataukah sebaliknya, itu
semua
tidak
lepas dari
peran dan fungsi dari PNS. Begitu banyak
persoalan yang menjadi kajian menarik apa dan bagaimana PNS
dari aspek kinerjanya,
etika moralitas, tingkat kesejahteraan, jenjang karier,
reward and punismentnya,
pembinaan dan pengawasan, maupun dimensi-dimensi lain
yang
menjadikan PNS menjadi wacana yang
senantiasa
menarik
untuk di bicarakan
di
Indonesia.
Kata Kunci: Penampilan, Budaya Malu, Kepemimpinan
A. PENDAHULUAN
Kemajuan suatu
bangsa salah
satunya ditentukan oleh kemampuan aparatur
birokrasi
dalam menjalankan
tugas dan fungsinya yaitu, sebagai pelayan
publik
kepada masyarakat
secara profesional dan akuntabel. Apabila publik
dapat terlayani dengan baik oleh
aparatur birokrasi, maka dengan sendirinya aparatur
birokrasi mampu menempatkan posisi
dan kedudukannya yaitu sebagai civil servant atau public service. Kondisi ini
akan berdampak pada kinerja dari
aparatur
birokrasi yang sesuai
dengan harapan dari masyarakat, pada akhirnya akan timbul trust kepada aparatur birokrasi
tersebut. Hal inilah yang akan menjadikan
negara
yang
maju dalam hal pelayanan kepada
warganya dan melahirkan
pada terwujudnya birokrasi yang bersih, akuntabel dan transparan.
Untuk itu keberadaan
aparatur birokrasi (PNS) menjadi penting apabila
birokrasi ma mpu me n d u k u n g t e rw u ju d n y a k e – sejahteraan umum
melalui fungsi
dan perannya sebagai pelayan masyarakat. Tugas inilah yang menjadi tanggungjawab aparatur birokrasi,
selain itu pula
keberadaan PNS
menjadi kata
kunci dari
keberlangsungan
suatu negara terutama dalam
pelayanan publik.
Peran besar yang diemban oleh PNS inilah
yang
menjadikan PNS dibutuhkan
oleh masyarakat
dan
memiliki kedudukan
strategis dalam kehidupan bernegara dan ber-masyarakat.
Selain itu PNS juga menjadi simbol
berlangsungnya sistem dan identitas
dari kepemerintahan apakah berjalan
dengan baik dan
bersih ataukah sebaliknya, itu
semua
tidak
lepas dari
peran dan fungsi dari PNS.
Dimensi strategis
ini yang setidaknya
menjadikan keberadaan PNS menjadi
suatu pembicaraan yang tidak lepas dari
berbagai persoalan yang
melingkupinya. Begitu banyak
persoalan yang menjadi kajian menarik apa dan bagaimana PNS
dari aspek kinerjanya,
etika moralitas, tingkat kesejahteraan, jenjang karier,
reward and punismentnya,
pembinaan dan pengawasan, maupun dimensi-dimensi lain
yang
menjadikan PNS menjadi wacana yang
senantiasa
menarik
untuk di bicarakan
di
Indonesia. Berkaitan dengan permasalahan yang melingkupinya,
kedudukan
PNS. dimasyarakat
juga
dianggap menjadi sumber permasalahan, terutama mengingat PNS
memiliki status yang tinggi
di kalangan
masyarakat,
bahkan ada
asumsi
dimasyarakat yang mengatakan bahwa PNS
di
Indonesia adalah sebagai suatu “keajaiban dunia” karena
begitu menariknya
dan sulitnya memasuki
jenjang karier
PNS
ini. Berawal
dari inilah masalah-masalah ini kemudian bermunculan. Terutama masalah yang berkaitan dengan tumbuh suburnya
praktek KKN dikalangan aparatur
birokrasi (PNS).
Dilihat dari
sejarahnya keberadaan
abdi negara atau
PNS
inipun menjadi
warga negara kelas
menengah
yang
diberi keistimewaan pada jamannya di
masa
jaman kependudukan
penjajahan.
Keistimewaan itu
diberikan tidak
hanya kepada abdi negara
tersebut melainkan keluarganya.
Terutama keistimewaan untuk sekolah, hak dan kedudukannya dengan warga lain. Pihak kolonial berkepentingan terhadap
pendudukannya
dengan memelihara birokrasi yang telah
dibentuknya dari kalangan kerajaan dan
kaum priyayi. Demikian juga memasuki
jaman kemerdekaan Orde Lama, Orde
Baru dan di era
reformasi ini. PNS seolah memiliki kedudukan yang lebih dengan warga
negara lain. Seolah
PNS di Indonesia menjadi
sumber inspirasi dan impian yang dihargai dan
di junjung tinggi oleh masyarakat.
Kondisi PNS pada masa kemasa
seolah menjadi sorotan publik, PNS
di jaman Orde Lama merupakan bagian
terpenting dalam proses membentuk karakter bangsa terutama
dalam proses penegakkan kemerdekaan, sistim
yang belum tertata dengan baik, dalam peyelenggaraan
pemerintahan maupun kehidupan negara menjadikan abdi negara
harus bekerja keras bersama rakyat untuk memperbaiki kehidupan negara. Dilihat
dari segi kesejahteraan PNS dijaman Orde Lama masih
juga ada keterbatasan,
tetapi kedudukannya
yang lebih di mata masyarakat menjadikan PNS masih menjadi
sorotan penting.
Dijaman Orde Baru PNS menjadi bagian penting dalam
sistem pemerintahan
maupun sistem politik yang terbentuk pada saat itu. PNS menjadi motor
politik dari
partai yaitu GOLKAR yang
berkuasa dalam menjalankan roda pemerintahan. Hal ini
menjadikan kedudukan PNS sebagai abdi negara sekaligus abdi kekuatan politik
yang
melayani partai
berkuasa.
PNS dengan lembaga KORPRI-nya bersinergi menjadi satu kesatuan yang melanggengkan kekuasaan Orde Baru.
Fakta ini menjadikan PNS sebagai
organisasi
atau kelembagaan yang seringkali dimanfaat-kan untuk
kepentingan
politik. Akibatnya fungsi aparatur
birokrasi sebagai
pelayan publik
terabaikan dan terdistorsi menjadi abdi
partai yang berkuasa pada saat itu.
Kondisi yang tidak berbeda adalah PNS dijaman reformasi
seperti
sekarang ini,
kondisi PNS sekarang ada
sedikit
perubahan
terutama dari
aspek peningkatan ke-sejahteraan.
Cara pandang masyarakatpun masih
tetap sama menganggap PNS sebagai profesi yang membanggakan, walapun sebenarnya cara
pandang demikian di masyarakat lambat
laun
memudar tidak seperti di jaman Orde Baru yang menjadikan PNS
sebagai warga kelas pertama. Di
jaman reformasi kehidupan PNS banyak
berubah, tuntutan untuk bekerja sesuai dengan keahlian dan kemampuannya. PNS sekarang juga
mendapat
tanggungjawab yang berat
terutama dalam menjalankan tugas dan
tanggung-jawabnya sebagai abdi
negara. Pengawasan masyarakat
yang
semakin menunjukkan kemajuannya menjadikan PNS harus bekerja dengan berbasis
kinerja. Selain
itu juga harus
bekerja secara transparan, akuntabel
dan menjunjung tinggi nilai-nilai
demokrasi.
Aspek kesejahteraan
di
masa reformasi ini PNS menjadi
cukup lebih baik seiring
dengan
peningkatan
tunjangan
yang
harus
dibayarkan
kepada PNS. Setiap tahun PNS mendapatkan kenaikan
gaji
sekitar 15-20 %. Selain itu adanya
berbagai program yang menuntut PNS
bekerja lebih baik, implikasinya adalah tunjangan yang lebih besar pula. Seperti
kebijakan remunerasi dibeberapa lembaga pemerintah merupakan peningkatan tunjangan kepada pegawai yang
dianggap
memilki fungsi strategis
dalam upaya
reformasi birokrasi. Selain itu khusus PNS
guru
dan dosen
adanya
kebijakan sertifikasi
dengan memberikan tunjangan sebesar gaji
pokok menjadikan PNS ini
semakin ada harapan untuk lebih baik
dari aspek kesejahteraan.
Terlepas dari berbagai hal tadi, kondisi PNS masih menjadi sorotan
terutama dari aspek perilaku dan etika moralitas.
PNS dianggap
sebagai pekerja
yang
bekerja hanya berangkat
duduk kemudian pulang
dan tinggal menunggu gaji, sebagian masyarakat
masih
menganggapnya demikian.
Hal ini wajar karena sebenarnya PNS
terlihat masih belum
adanya
penataan yang
jelas
terhadap tupoksi dan kelembagaannya. Apalagi
memasuki era otonomi
daerah keberadaan PNS
semakin tidak
jelas terutama dengan buruknya manajemen
sistim kepegawaian di
daerah. Kondisi
ini yang seringkali tidak dibarengi dengan peningkatan standar
kompetensi PNS.
Kenyataan ini mengakibatkan PNS tidak
memiliki standar kerja yang jelas. Jadi tidak heran
apabila masih adanya PNS terlihat sering bermain game ataupun hanya
duduk-duduk sambil “ngerumpi”.
Kenyataan ini masih banyak terlihat
di beberapa lembaga pemerintahan.
Kondisi demikian sebenarnya tidak
terjadi kalau pemerintah
mampu
me-
rencanakan kebutuhan PNS secara tepat dan profesional. Terkadang PNS hanya
sebatas direkrut
dari
orang terdekatnya
tanpa
proses rasionalisasi yang
sebenarnya
kebutuhan PNS
itu
berapa atau ditempatkan
dimana saja. Terkadang
hal ini
belum dipikirkan,
akibatnya kemudian seperti yang terjadi
di Departemen Keuangan yang telah diungkapkan
oleh Menterinya DR. Sri
Mulyani bahwa sebenarnya Departemen
Keuangan kelebihan pegawai tapi sebenarnya
juga kekurangan pegawai.
Artinya adalah kelebihan pegawai yang dimaksud adalah pegawai yang tidak
memiliki tupoksi yang jelas
mencapai tujuh ribuan sedangkan kekurangannya
mencapai hampir enam ribuan pegawai.
Contoh kasus tersebut juga terjadi
di daerah,
PNS
yang
ada di
daerah belum
ada
data yang jelas, kebutuhannya
berapa, jumlahnya berapa dan rasionalisasi
kebutuhannya sebenarnya berapa. Hal ini
berkaitan dengan sistem informasi yang belum
terbangun di daerah sehingga sulit diketahui rasionalisasi PNS di daerah.
Sisi lain daerah juga masih dihadapkan pada berbagai
persoalan berkaitan dengan kepegawaiannya, kedisiplinan,
etika dan moralitas, kinerjanya,
belum
lagi
permasalahan
krusial lainnya seperti tugas dan
tanggungjawab yang seringkali diabaikan. Di
berbagai daerah melalui Bupati atau
Walikotanya melakukan reformasi
PNS
melalui berbagai rangkaian
kegiatan dan upaya dari regulasi sampai tingkat kesejahteraannya.
Pada akhirnya
ditiap daerah terkadang
PNSnya memiliki
budaya kinerja yang berbeda.
Ada beberapa hal yang menjadi
pokok
permasalahan PNS
yaitu : rasionalisasi PNS, faktor ketidakefektifan
kinerja PNS dalam fungsi pelayanan publik,
kondisi berlebihan
jumlah
PNS di Indonesia pada berbagai pemerintahan.
Setiap
tahun
pengangkatan pegawai ditekan
dalam jumlah
yang
seminimal
mungkin dan hanya 15 persen
dari total
jumlah pegawai yang pensiun setiap tahun. Jika jumlah pegawai per
tahun, mulai tahun
2007, yang
pensiun berjumlah 120.000
orang, maka pemerintah hanya
mengangkat
pegawai baru
berjumlah 25.000 orang. Banyaknya jumlah pegawai
dan
pensiunan pegawai di Indonesia saat ini memang sudah overload,
di mana untuk menggaji 3,6 juta pegawai plus 2,9 juta
pensiunan pegawai
alokasi belanja APBN per tahunnya
mencapai angka Rp 125 triliun . Bisa
dibayangkan,
jumlah untuk
gaji pegawai dan pensiunan
tersebut tidak sebanding dengan rasio subsidi pupuk
pertanian yang
hanya Rp
3,5
triliun per tahun atau dana kompensasi
BBM yang hanya Rp 15
triliun untuk
20 juta
orang
miskin. Membengkaknya jumlah
pegawai di
Indonesia yang tidak sebanding dengan output kerja yang dihasilkan dalam bidang
pelayanan publik merupakan dampak
kebijakan politik
birokrasi Orde Baru
(Zaenal
Muttaqien, 2008).
Selain itu menurut
Edy
Satria,
(2005), seakan telah menjadi
sebuah menu rutin, hujatan kepada sekitar 4
juta
Pegawai Negeri
Sipil (PNS) kembali menjadi berita
utama pasca
lebaran yang lalu. Meski terkesan repetitif menguraikan inefisiensi
birokrasi dan kebobrokan mental aparatnya,
pemberitaan itu
juga semakin
dalam
mencungkil
berbagai segi yang terkait
kucingan” antara pejabat yang melakukan inspeksi mendadak dengan para pegawai,
perilaku PNS yang hanya bersalam-
salaman lalu pulang, atau tentang
sanksi yang mungkin
diterima pegawai,
tetapi beberapa pemberitaan
dan editorial juga
melebar. Ujung-ujungnya, pemberitaan menjalar kepada masih maraknya praktik
Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di lingkungan PNS. Hal lain seringkali menjadi sorotan
terhadap PNS adalah dari masa orde satu ke orde yang lainnya setiap kali PNS
dianggap syarat
KKN, kinerja
yang
tidak baik dibandingkan dengan pegawai swasta,
ataupun sebutan sebagai pegawai yang tidak profesional. Kondisi
yang lebih mem- prihatinkan adalah kondisi PNS yang tidak
lagi memiliki
etika dan moralitas.
Salah
satu
contohnya
adalah PNS diberbagai daerah yang ketahuan “ngamar” pada bulan puasa di hotel
di wilayah Surakarta,
dan
baru-baru
ini yang sering terjadi
adalah perselingkuhan, hamil diluar nikah, sampai terjadinya kegilaan pada PNS
yang
menjadikan mereka mendapat sanksi yang tegas dari pimpinannya.
B. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berbagai persoalan yang
berkaitan dengan
keberadaan PNS sangat kompleks.
Permasalahan
tersebut dimulai dari proses
rekruitmen yang tidak mengedepankan analisis
dan kebutuhan, sistem penempatan yang tidak memperhatikan kinerja,
sistem penggajian dan penghargaan yang kurang
memperhatikan
prestasi dan kinerjanya. Belum lagi
permasalahan karier
PNS,
sistem pendidikan
dan pelatihan
serta berkaitan
dengan sistim
pemberhentian
PNS.
Berbagai permasalahan tersebut diperlukan langkah-langkah yang nyata
dalam mewujudkan aparatur
birokrasi yang
bersih, profesional dan berperan
sebagai pelayan masyarakat. Untuk itu
diperlukan proses atau
sistem reformasi birokrasi kepegawaian yang konferhensif
dimulai dari pengadaan
sampai pem-berhentian dari PNS tersebut.
Pengadaan PNS diperlukan sistem
yang
lebih terbuka dan transparan serta mem-perhatikan profesionalisme artinya, jika selama ini pengadaan PNS hanya diprioritaskan kepada para
tenaga honorer yang notabene dari aspek
kualifikasi belum tentu menjadi kebutuhan
dan keahliannya.
Maka diperlukan sebuah
analisis dan kebutuhan
dari PNS yang
terencana
dan
tersistimatis. Demikian
halnya
penilaian kinerja PNS tidak lagi pada cara-cara
klasik yang menilai PNS tidak
berbasis pada
kinerjanya melainkan sekedar kepatuhan
semata. Dan implikasi dari
sistem reward and punisment harus benar-benar diterapkan kepada aparat
birokrasi
baik yang berprestasi maupun yang melanggar
aturan harus
ada ketegasan.
Disamping itu
penerapan budaya
malu menjadi salah satu alternatif untuk
meningkatkan karakter
PNS
yang lebih berorientasi
pada civil servant dan
bukannya
berorientasi pada
penguasa yang harus dilayani. Untuk itu etika birokrasi
yang
diterapkan tidak
sekedar slogan dan retorika yang ada dalam
Panca
Prasetya KORPRI maupun Sapta Marga dan sederetan Undang-undang atau Peraturan
Pemerintah Tentang
kepegawaian, tetapi lebih dari
itu bagaimana
ketentuan-ketentuan tersebut dapat dihayati dan diamalkan dalam
berprilaku sebagai Aparat
Birokrasi dan yang tidak kalah penting yaitu bagaimana penegakkan
hukum atau sanksi yang tegas
bagi para pelanggar aturan yang telah disepakati dan ditentukan.
2. Saran dan
Rekomendasi
Berdasarkan uraian pemikiran
tentang perbaikan reformasi kepegawaian aparatur birokrasi ini, ada
beberapa saran yang setidaknya
dijadikan pemikiran
bersama untuk
memperbaiki perfomance
dari PNS ini agar lebih baik dan
menjalankan kedudukan dan
fungsinya sebagai abdi negara
dan abdi masyarakat yang memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sepenuh hati.
a. Diperlukan sistem rekruitmen yang
mengandalkan
profesionalisme dan
nurani, yang dapat dilalui
melalui test and propertest bagi pejabat publik
serta
melalui lembaga independen yang
dapat dipercaya dan
diandalkan
kredibilitasnya untuk melakukan
proses
rekruitmen. Serta
mampu
memanfaatkan sistem
informasi manajemen
kepegawaian dalam
melakukan
formasi dan
pengadaan
PNS.
b. Karakter pemimpin yang
memegang prinsip dan menganut budaya
malu
sebagai upaya pengungkit terciptanya
budaya kerja yang
lebih
berorientasi
pada akuntabilitas dan transparansi.
c. Sistim reward and punisment yang adil
tidak
hanya diperlakukan di departemen tertentu saja, karena hal
ini menciptakan disparitas
mental para
PNS
yang berakibat pada buruknya
citra PNS.
d. Hukum yang tegas dan jelas kepada
para PNS yang melanggar ketentuan dan kode etik, diperlakukan
sama baik
kepada pejabat atau staff yang telah melanggar
ketentuan.
e. Mengedepankan slogan “civil servant” dalam menjalankan kedudukan dan
fungsinya dan
bukan sebagai penguasa yang harus dilayani.
Membenahi sistem
politik
yang tidak
lagi
menyeret PNS
pada kepentingan
sesaat
yang
pada
akhirnya akan melayani
partai berkuasa. Untuk
itu PNS yang netral atau Politic is No ! menjadi nilai yang harus dibangun
dalam setiap
langkah kebijakan
pembangunan PNS yang profesional dan akuntabel.