Teuku Umar (Meulaboh, 1854 - Meulaboh 11 Februari 1899)
adalah pahlawan kemerdekaan Indonesia yang
berjuang dengan cara berpura-pura bekerjasama dengan Belanda. Ia
melawan Belanda ketika telah mengumpulkan senjata dan uang yang
cukup banyak.
Auto Biografi:
Ia merupakan salah seorang pahlawan
nasional yang pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga
tahun 1899. Kakek Teuku Umar adalah keturunan Minangkabau, yaitu Datuk Makdum
Sati yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh. Datuk Makdum Sati mempunyai dua
orang putra, yaitu Nantan Setia dan Achmad Mahmud. Teuku Achmad Mahmud
merupakan bapak Teuku Umar.
Ketika perang aceh meletus pada 1873
Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, padahal
umurnya baru menginjak19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri yang
kemudian dilanjukan ke Aceh Barat. Pada umur ini, Teuku Umar juga sudah
diangkat sebagai keuchik (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.
Kepribadiaan Teuku Umar sejak kecil
dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan
teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah
dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan
pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat,
cerdas, dan pemberani.
Pernikahan Teuku Umar tidak sekali
dilakukan. Ketika umurnya sudah menginjak usia 20 tahun, Teuku Umar menikah
dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat
dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari
Panglima Sagi XXV Mukim. Sejak saat itu, ia mulai menggunakan gelar Teuku. Pada
tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dien, puteri pamannya.
Sebenarnya Cut Nyak Dien sudah mempunyai suami (Teuku Ibrahim Lamnga) tapi
telah meninggal dunia pada Juni 1978 dalam peperangan melawan Belanda di Gle
Tarun. Setelah itu, Cut Nyak Dien bertemu dan jatuh cinta dengan Teuku Umar.
Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos
Belanda di Krueng. Hasil perkawinan keduanya adalah anak perempuan bernama Cut
Gambang yang lahir di tempat pengungsian karena orang tuanya tengah berjuang
dalam medan tempur.
Belanda sempat berdamai dengan
pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Satu tahun kemudian (tahun 1884) pecah
kembali perang di antara keduanya. Pada tahun 1893, Teuku Umar kemudian mencari
strategi bagaimana dirinya dapat memperoleh senjata dari pihak musuh (Belanda).
Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek (kaki tangan) Belanda.
Istrinya, Cut Nyak Dien pernah sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan
suaminya itu. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan
Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian
masuk dinas militer. Atas keterlibatan tersebut, pada 1 Januari 1894, Teuku
Umar sempat dianugerahi gelar Johan Pahlawan dan diizinkan untuk membentuk
legium pasukan sendiri yang berjumlah 250 tentara dengan senjata lengkap.
Saat bergabung dengan Belanda, Teuku
Umar sebenarnya pernah menundukkan pos-pos pertahanan Aceh. Peperangan tersebut
dilakukan Teuku Umar secara pura-pura. Sebab, sebelumnya Teuku Umar telah
memberitahukan terlebih dahulu kepada para pejuang Aceh. Sebagai kompensasi
atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima
dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pangleot sebagai tangan
kanannya akhirnya dikabulkan oleh Gubernur Deykerhorf yang menggantikan
Gubernur Ban Teijn.
Pada
tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kemudian keluar dari dinas militer Belanda
dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500
kg amunisi, dan uang 18.000 dollar. Dengan kekuatan yang semakin bertambah,
Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh. Siasat dan
strategi perang yang amat lihai tersebut dimaksudkan untuk mengelabuhi kekuatan
Belanda pada saat itu yang amat kuat dan sangat sukar ditaklukkan. Pada saat
itu, perjuangan Teuku Umar mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad
Daud yang bersama 400 orang ikut menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran
tersebut, sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka di pihak Belanda.
Gubernur
Deykerhorf merasa tersakiti dengan siasat yang dilakukan Teuku Umar. Van Heutsz
diperintahkan agar mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menangkap
Teuku Umar. Serangan secara mendadak ke daerah Melaboh menyebabkan Teuku Umar
tertembak dan gugur dalam medan perang, yaitu di Kampung Mugo, pedalaman
Meulaboh pada tanggal10 Februari 1899.
2. Pemikiran
Sejak
kecil, Teuku Umar sebenarnya memiliki pemikiran yang kerap sulit dipahami oleh
teman-temannya. Ketika beranjak dewasa pun pemikirannya juga masih sulit
dipahami. Sebagaimana telah diulas di atas bahwa taktik Teuku Umar yang berpura-pura
menjadi antek Belanda adalah sebagai bentuk “kerumitan” pemikiran dalam
dirinya. Beragam tafsir muncul dalam memahami pemikiran Teuku Umar tentang
taktik kepura-puraan tersebut. Meski demikian, yang pasti bahwa taktik dan
strategi tersebut dinilai sangat jitu dalam menghadapi gempuran kolonial
Belanda yang memiliki pasukan serta senjata sangat lengkap. Teuku Umar
memandang bahwa “cara yang negatif” boleh-boleh saja dilakukan asalkan untuk
mencapai “tujuan yang positif”. Jika dirunut pada konteks pemikiran
kontemporer, pemikiran seperti itu kedengarannya lebih dekat dengan komunisme
yang juga menghalalkan segala cara. Semangat perjuangan Teuku Umar dalam
menghadapi kolonialisme Belanda yang pada akhirnya mendorong pemikiran semacam
itu.
3. Karya
3. Karya
Karya
Teuku Umar dapat berupa keberhasilan dirinya dalam menghadapi musuh. Sebagai
contoh, pada tanggal 14 Juni 1886, Teuku Umar pernah menyerang kapal Hok
Centon, milik Belanda. Kapal tersebut berhasil dikuasai pasukan Teuku Umar.
Nahkoda kapalnya, Hans (asal Denmark) tewas dan kapal diserahkan kepada Belanda
dengan meminta tebusan sebesar 25.000 ringgit. Keberanian tersebut sangat
dikagumi oleh rakyat Aceh. Karya yang lain adalah berupa keberhasilan Teuku
Umar ketika mendapatkan banyak senjata sebagai hasil dari pengkhianatan dirinya
terhadap Belanda.
4. Penghargaan
Berdasarkan
SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973, Teuku Umar dianugerahi
gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di
sejumlah daerah di tanah air, salah satunya yang terkenal adalah terletak di
Menteng, Jakarta Pusat. Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama sebuah
lapangan di Meulaboh, Aceh Barat.
Maaf itu tahun 1978 atau tahun berapa??
ReplyDelete