Abu Dawud Beureueh (Pegang Tongkat)
Sumber Foto: T. A. Talsya
“Aceh tidak jadi merdeka karena kesalahan Daud Beureueh.” Kalimat
sederhana ini sering diulang-ulang oleh sebagian kalangan di Aceh.
Bahkan sadisnya lagi, ada pula segelintir pihak yang menuding bahwa Daud
Beureueh telah menjual Aceh kepada Jakarta, padahal pada saat
kemerdekaan RI diproklamirkan, seperti disebut Al Chaidar, Teungku Umar
Tiro selaku pewaris keluarga Tiro pun ikut mengibarkan Merah Putih.
Terlepas siapa yang pertama sekali meluncurkan statemen dha’if ini, tapi
yang jelas Daud Beureueh tidak mungkin melakukan klarifikasi atas
penistaan sejarah semacam ini.
Dongeng “menjijikkan” ini terus mengalir menyisir dan menembus urat-urat
halus dalam pikiran generasi muda Aceh. Ianya diterima begitu saja
sebagai sebuah riwayat yang dianggap shahih, tanpa mencoba melakukan
kritik terhadap matan (teks) maupun sanad (si perawi). Akhirnya, dongeng
ini terus beranak-pinak sehingga ia berakar dalam memori sebagian
masyarakat Aceh. Daud Beureueh telah “dihukum” oleh mereka yang tidak
pernah mengenalnya. Namun demikian, tindakan-tindakan penista sejarah
itu tidak akan sedikit pun menjatuhkan wibawa dan kharisma Daud Beureueh
sebagai seorang mujahid agung di tanah Aceh, yang gaungnya bergetar
hingga Asia Tenggara.
Dhabith Tarki Sabiq mengatakan bahwa: “Kebanyakan orang lebih siap
membenarkan dusta yang selalu mereka dengar daripada membenarkan fakta
yang tidak pernah mereka dengar.” Saya melihat, kondisi inilah yang
sedang kita hadapi saat ini sehingga melahirkan para “pendongeng” di
Aceh. Ketika fakta-fakta itu terbenam dalam pusaran sejarah, maka yang
muncul mengapung adalah kedustaan-kedustaan. Dan kedustaan ini akan
terus melekat abadi jika generasi muda tidak mencoba menggali fakta yang
terendam – atau mungkin sengaja direndam.
Kedustaan itu semakin dahsyat ketika Daud Beureueh “dikonfrontir” dengan
Hasan Krueng Kalee. Dongeng yang berkembang menyebut bahwa kesalahan
terbesar Daud Beureueh adalah tidak mau mendengar nasehat Hasan Krueng
Kalee. Ketidak-adilan semakin memuncak ketika Daud Beureueh “diinjak”
dan Hasan Krueng Kalee diangkat. Padahal keduanya adalah sosok mujahid
yang pernah memaklumkan jihad mempertahankan Republik Indonesia pada 15
Oktober 1945.
Kisah Daud Beureueh vs Hasan Krueng Kalee ini diangkat dari satu
peristiwa bersejarah pada tahun 1949, ketika Wali Negara Sumatera Timur
mengajak Aceh bergabung dengan Sumatera Timur, negara boneka Van Mook.
Dikisahkan bahwa saat itu Hasan Krueng Kalee, di hadapan rapat staf
Gubernur Militer, menawarkan agar Aceh berdiri sendiri. Tetapi tawaran
ini tidak mendapat sambutan dari peserta rapat – semuanya diam membisu.
Sebagai seorang republiken, tentunya Daud Beureueh menentang tawaran
Hasan Krueng Kalee untuk mendirikan negara sendiri. Sepotong kisah
inilah yang kemudian terus diulang-ulang sampai saat ini sehingga Daud
Beureueh selalu diposisikan sebagai pihak “tersalah.”
Maklumat Ulama Seluruh Aceh pada 15 Oktober 1945 adalah bukti paling
otentik bahwa Daud Beureueh dan Hasan Krueng Kalee adalah dua sosok
republiken sejati yang sama-sama menandatangani maklumat tersebut
bersama dua ulama lainnya, Ahmad Hasballah Indrapuri dan Jakfar Sidiq
Lamjabat. Dan bahkan, seperti dicatat dalam Biografi Hasan Krueng Kalee
(Darul Ihsan, 2010), selain menandatangani maklumat bersama, Hasan
Krueng Kalee juga membuat maklumat atas nama pribadi dengan tulisan Jawi
pada 25 Oktober 1945. Fakta ini membuktikan bahwa, seperti halnya Daud
Beureueh, Hasan Krueng Kalee juga seorang republiken sejati.
Jika kita bisa menghargai sikap politik Hasan Krueng Kalee yang pada 20
Maret 1949 menawarkan Aceh berdiri sendiri, meskipun bertentangan dengan
maklumat 15 Oktober yang pernah ditandatanganinya, lantas kenapa kita
tidak bisa memahami keputusan Daud Beureueh yang tetap ingin setiap
kepada Republik? Bukankah pada 15 Oktober, Hasan Krueng Kalee dan Daud
Beureueh ikut mengajak masyarakat Aceh untuk berjihad mempertahankan
Republik? Tidakkah bisa dipahami bahwa sikap Daud Beureueh yang menolak
bergabung dengan Sumatera Timur dan juga mendirikan negara sendiri
adalah satu bukti keistiqamahan beliau terhadap maklumat 15 Oktober?
Lagi pula keputusan Daud Beureueh untuk tetap setia kepada Republik
didukung oleh seluruh peserta rapat yang juga para pejuang dan
tokoh-tokoh Aceh, kecuali Hasan Krueng Kalee. Dan fakta ini juga diakui
sendiri oleh penulis biografi Hasan Krueng Kalee. Keputusan untuk tetap
setia kepada Republik adalah keputusan kolektif tokoh-tokoh Aceh, bukan
semata-mata keputusan pribadi Daud Beureueh. Dan yang paling penting,
keputusan itu dicapai melalui musyawarah yang cukup demokratis, di mana
Daud Beureueh juga beberapa kali meminta tanggapan kepada para tokoh
yang hadir, tetapi mereka semua diam sebagai tanda bersetuju dengan
keputusan itu.
Daud Beureueh dan Hasan Krueng Kalee adalah sosok mujahid dan juga ulama
besar di Aceh, di mana keduanya patut dan bahkan wajib kita hormati.
Sebagai generasi muda, kita boleh saja melakukan penafsiran yang berbeda
terhadap kejadian sejarah di masa lalu, tapi jangan sekali-kali menjadi
hakim!
Bagi mereka yang memahami fakta sejarah, tulisan ini tentunya tidak
penting. Tapi bagi penista sejarah, tulisan ini adalah sebuah tawaran
untuk sama-sama kita melakukan tabayyun. Wallahu A’lam.
Sumber:http://patahkekeringan.blogspot.co.id
No comments:
Post a Comment