Breaking News

Tuesday, August 29, 2023

Jejak Tragedi Kemanusiaan: Chheung Ek Killing Fields Menyaksikan Kekejaman Pol Pot

 

Tulisan sebelumnya tentang Bangunan Sekolah Menengah Yang Menyimpan Sejarah Memilukan, pada kesempatan program Mahabbah Masiah Ada yang Sayang saya pun memanfaatkan kesempatan sejenak mengunjungi Museum The Killing Fields, Choeung Ek.

Dengan diantar Mas Abang Tuk Tuk yang sangat baik namun tidak dapat berbicara dalam bahasa Inggris sehingga saya kesulitan untuk mendapatkan informasi yang disampaikan selama perjalanan. Abang Tuk Tuk yang bisa Bahasa Inggris jarang sekali kualifikasi seperti ini di Kamboja.

Menurut cerita dan informasi dari Kak Long, Agen yang membantu program ini, saya akan mengarah ke bagian selatan Kamboja, tepatnya di Dangkao, sekitar 17 kilometer selatan pusat kota Phnom Penh.   

Choeung Ek dulunya adalah bekas kebun buah dan selanjutnya menjadi kuburan massal para korban Khmer Merah, terbunuh antara tahun 1975 sampai tahun 1979. 

Sambil berjalan meliuk liuk diantara jalanan dan menyalip mobil lian, agaknya saya sudah benar memilih dia untuk berkeliling ke area wisata di Kamboja. Salah satunya adalah Choeung Ek yang merupakan situs paling terkenal sebagai The Killing Fields, di mana rezim Khmer Merah mengeksekusi lebih dari satu juta orang antara tahun 1975 - 1979. 

Sungguh satu pengalaman mengagumkan, saya berkesempatan menyaksikan jejak sejarah pembantaian manusia yang pernah terjadi di Kamboja, meskipun hanya melalui situs-situs bersejarah dan museum yang ada di sana.

Saat tiba di dekat pintu gerbang, saya membeli tiket dengan harga khusus untuk wisatawan asing, yaitu sebesar US$ 6 per orang.

Karena tidak memiliki pemandu, sepatutnya saya menyewa layanan audio tour. Keputusan ini ternyata sangat tidak bijak, karena tur dan penjelasan yang diberikan sangat jelas dan menyeluruh, cerita teman-teman yang memanfaatkan fasilitas ini. Biaya sewa audio tour selama kunjungan adalah US$ 4, sehingga total biaya masuk ke area Choeung Ek Genocidal Center menjadi US$ 10. Jika dihitung dengan kurs saat ini sekitar Rp. 150.000,-, ini termasuk murah untuk sebuah informasi sejarah yang tidak ternilai harganya.

Alat layanan audio memiliki penampilan yang serupa dengan Walkman dan dapat dipasang di gesper atau sabuk. Dilengkapi dengan earphone berkualitas tinggi menghasilkan suara yang jernih. Alat ini juga memiliki opsi untuk memilih bahasa, dan tentunya anda pasti memilih bahasa Melayu jika berkunjung ke tempat ini.

Penggunaan perangkat ini cukup sederhana, Anda hanya perlu mencari titik-titik yang ditandai dengan papan berwarna biru memiliki logo earphone. Di setiap titik tersebut, akan diberikan cerita tentang kejadian dan peristiwa yang terjadi di lokasi tempat Anda berdiri.

Anda dapat dengan tenang mendengarkan dan membayangkan sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Alat Audio Tour. Alat ini sangat bermanfaat terutama bagi wisatawan yang berpergian sendirian. Alat Audio Tour ini sangat informatif dan dapat diulang jika Anda merasa perlu.

Eksplorasi di Choeung Ek

Sekarang saatnya untuk menjelajahi area ini dengan mengikuti jalur yang diarahkan.

Monumen Stupa

Monumen Peringatan di Choeung Ek adalah sebuah Stupa Buddha. Stupa ini memiliki dinding kaca akrilik dan di dalamnya terdapat lebih dari 5.000 tengkorak manusia.

Monumen ini memiliki kesan yang hening, seakan-akan ingin bercerita tentang kisah-kisah tragis. Tersimpan di dalamnya puing-puing pakaian tahanan yang menempel saat mereka disiksa, serta berbagai barang bukti yang menjadi saksi bisu atas kekejaman rezim Pol Pot.

Kuburan massal dengan 8.895 jasad ditemukan di Choeung Ek setelah jatuhnya pemerintahan Khmer Merah. Banyak dari mereka adalah mantan tahanan politik yang sebelumnya ditahan oleh rezim Khmer Merah di pusat penahanan seperti Tuol Sleng dan lokasi penahanan lainnya di Kamboja.

Struktur monumen ini dikenal sebagai "Monumen Stupa". Dalam ajaran Buddha, stupa adalah tempat suci untuk meletakkan sisa-sisa jasad yang perlu dihormati. Di salah satu tiangnya terdapat tulisan:

Would you please kindly show your respect to many million people who were killed under the Genocidal Pol Pot Regime. 

Mungkin dengan alat Audio Tour yang informatif, perjalanan Anda di Choeung Ek menjadi lebih mendalam dan bermakna. Anda dapat merenung tentang sejarah tragis yang terjadi di tempat ini sambil mendengarkan narasi yang menghantarkan Anda ke masa lalu yang kelam.

Beberapa lapisan yang lebih rendah dari stupa dibuka pada siang hari, memungkinkan tengkorak-tengkorak manusia terlihat langsung. Namun, banyak di antaranya rusak atau hancur. Saat kunjungan saya, saya tidak dapat melihat tengkorak-tengkorak yang hancur tersebut secara langsung.

Tujuan utama dibangunnya stupa adalah sebagai pengingat bagi mereka yang tewas secara tragis di tempat ini. Untuk menghormati tempat, pengunjung yang akan masuk ke dalam bangunan ini, diminta melepas alas kaki menjaga kebersihan.

Memorial Stupa ini memiliki ketinggian 65 meter dan terdiri dari 17 lantai. Setiap lantai memiliki fungsi yang berbeda:

  1. Lantai pertama menampilkan pakaian korban yang ditemukan dari kuburan massal. Berbagai jenis pakaian untuk pria, wanita, anak-anak, dan bahkan bayi diletakkan di lantai ini.
  2. Lantai kedua hingga sembilan memajang tengkorak-tengkorak korban.
  3. Sedangkan pada lantai kesepuluh hingga ketujuh belas, berbagai jenis tulang seperti selangkangan, humerus, tulang rusuk, pinggul, tailbones, thighbones, shinbones, tulang belakang, dan rahang ditempatkan.

Pendirian monumen ini berkaitan dengan sejarah kelam sebelumnya. Kamboja berhasil membebaskan diri dari rezim Khmer Merah pada 7 Januari 1979. Tidak lama setelah itu, ladang pembantaian di Cheoung Ek ditemukan. Lebih dari 129 kuburan massal ditemukan dan 86 di antaranya digali. Dari penggalian ini, lebih dari 8.985 mayat yang identitasnya tidak diketahui berhasil diangkat.

Mengingat mayoritas penduduk Kamboja menganut agama Buddha, dipercayai bahwa untuk menghormati orang yang telah meninggal, sisa-sisa jasad mereka harus dihormati dan disimpan di tempat yang pantas.

Kemudian, sebuah stupa kayu dibangun untuk menampung tulang belulang dan tengkorak yang telah ditemukan. Beberapa tahun berlalu, pemerintah memerintahkan menteri dan pejabat kota untuk mendirikan stupa peringatan di lokasi Cheoung Ek, skala nasional, sebagai penghormatan dan pelajaran bagi umat manusia serta sebagai pengingat bagi para korban.

Pada awal tahun 1988, dimulailah pembangunan stupa beton. Pada tahun 1989, tulang belulang dan tengkorak yang ditemukan dipindahkan ke stupa peringatan baru. Bagian depan stupa diberi pelindung kaca untuk memastikan dapat dilihat dan dilestarikan. Ketika berada di dalam ruangan Memorial Stupa, setiap pengunjung merasakan ikatan emosional yang berbeda. Potongan-potongan kertas dengan tulisan atau doa dari pengunjung sebelumnya dari berbagai negara dapat ditemukan di sela-sela kaca.

Petunjuk untuk menjaga ketenangan dan tidak merokok dipasang di Monumen Stupa. Seperti tertempa oleh satu pemikiran, para pengunjung di ruangan ini sepakat untuk menjaga keheningan dan menghormati apa yang terpampang di hadapan mereka. Hanya kegiatan pengambilan foto yang terdengar, sementara pandangan kami terpaku pada bukti nyata kekejaman dari tragedi pembunuhan ini.

Bukti-bukti yang dipamerkan di etalase menunjukkan betapa ambisi kekuasaan bisa merusak manusia, mendorong mereka melakukan tindakan kejam dan tanpa belas kasihan. Itu mengingatkan kita pada pentingnya menjaga hak asasi manusia dan menghindari repetisi dari masa lalu yang kelam.

Penjara Gelap dan Suram

Tempat ini merupakan lokasi di mana korban dari Tuol Sleng dan tempat lainnya di negara ini ditahan. Biasanya, saat truk pengangkut tiba, korban dieksekusi secara langsung. Namun, karena jumlah korban yang akan dieksekusi meningkat menjadi lebih dari 300 orang per hari, para algojo gagal membunuh mereka dalam sehari. Akibatnya, mereka ditahan untuk dieksekusi keesokan harinya. Penjara ini dibangun dengan dinding kayu berlapis dua untuk memastikan gelap dan mencegah kontak antar tahanan. Sayangnya, penjara gelap dan suram ini dibongkar pada tahun 1979.

Kantor Kerja Algojo

Di sini adalah tempat algojo yang ditugaskan secara tetap di Choeung Ek bekerja. Kantor dan tempat eksekusi dilengkapi dengan tenaga listrik untuk eksekusi dan kegiatan lainnya. Mereka juga mendampingi korban ke tempat eksekusi di malam hari.

Ruang Penyimpanan Zat Kimia

Tempat ini digunakan untuk menyimpan zat kimia seperti DDT dan lainnya. Algojo akan menyebarkan zat ini di atas mayat korban setelah eksekusi. Tujuannya adalah untuk menghilangkan bau busuk dari mayat yang bisa menimbulkan kecurigaan kalangan pekerja di ladang pembantaian dan juga untuk membunuh korban yang dikubur hidup-hidup.

Ruang Penyimpanan Alat Pembunuh

Ini adalah tempat di mana alat-alat pembunuh seperti gada, besi kaki, golok, pisau cangkul, cangkul gali, cangkul, palu besi, dan roda gerobak disimpan. Alat-alat ini hilang setelah tahun 1979. Ruangan penyimpanan ini terbuat dari kayu dengan atap baja galvanis.

Kuburan Massal 450 Korban

Langkah berikutnya membawa saya ke sebuah bangunan sederhana yang memiliki bentuk persegi panjang. Terdiri dari tiang dan atap bambu, serta dikelilingi oleh pagar bambu setinggi sekitar 50 cm. Bangunan ini ternyata adalah Kuburan Massal 450 Korban, tempat 450 tahanan dikuburkan dalam kondisi yang amat tidak layak. Meski awalnya tampak tidak istimewa, bangunan ini terletak di tengah area kebun yang tampak sepi, hanya diapit oleh pohon-pohon besar.

Pohon Kamboja dengan bunga putih dari keluarga Plumeria yang sudah uzur, tampak seperti teman bagi arwah-arwah yang mungkin belum mendapatkan ketenangan. Di lokasi ini, tumpukan tengkorak dan tulang belulang tersebut ditemukan. Saat saya berkeliling, setiap sudut untuk mengungkapkan kenangan nyata dari masa lalu beberapa dekade yang lalu.

Pagar bambu dihiasi dengan sentuhan gelang-gelang berwarna merah, kuning, hijau, dan biru. Potongan kayu yang bertuliskan "Mass Grave 450 Victims" terhiasi bunga kuning. Di dalamnya, tanah kering menghampar dengan hiasan benda seperti gelang. Di sekitar bangunan, bekas galian dan tumpukan tanah dari penggalian masa lalu masih tampak jelas.

Lingkungan ini dipenuhi dengan bukti-bukti bekas galian besar yang menjadi tempat kuburan massal. Untuk menjaga keaslian area ini, pengunjung dilarang memasuki bekas galian tersebut. Tidak jauh dari sini, tepatnya sekitar 100 meter, terdapat Monumen Stupa yang menjadi saksi peristiwa ini.

Di sini, saya bertemu dengan sekelompok turis yang tengah terpesona mendengarkan penjelasan dari seorang pemandu wisata lelaki. Mereka terlihat begitu antusias dan tidak jarang turis mengajukan pertanyaan ketika sang pemandu sedang memberikan penjelasan.

Puing-puing Tulang dan Gigi

Fragmentasi tulang dan gigi yang ditemukan saat penggalian pada tahun 1980 sekarang tersembunyi di dalam tanah. Namun, akibat banjir dan hujan deras, fragmen-fragmen tulang dan gigi ini kini muncul lagi dan dikumpulkan untuk disimpan.

Kemudian terdapat plakat berwarna biru yang menunjukkan tulisan "Former Chinese Grave, Pre 1975" (Makam Tionghoa Terdahulu, Pra 1975). Melalui informasi yang saya dengar dari Tour Guide, area pembantaian ini sebelumnya merupakan kawasan pemakaman Tionghoa. Namun, pada masa penyiksaan selama era kekejaman Pol Pot, tempat ini diubah menjadi tempat pembantaian dan penumpukan mayat. Kengerian yang tidak terbayangkan.

Setelah menyaksikan Mass Grave 450 orang dan lokasi pembantaian, serta menemukan fragmen-fragmen tulang, saya mengikuti petunjuk dari gambar yang diambil saat memasuki kawasan ini.  Selanjutnya saya menuju sebuah rawa lebar yang masih tergenang air. Meskipun tidak ada keterangan resmi, dari suasana di sekitarnya, saya pun menduga bahwa lokasi ini juga menjadi tempat penemuan mayat-mayat korban pembunuhan.

Pembangunan Bendungan Konservasi

Pada tahun 2000, sebuah tanggul dibangun dengan tujuan konservasi. Tanggul ini dirancang untuk melindungi kuburan massal yang telah digali dari risiko kerusakan akibat banjir.

Menurut kisah dari beberapa pengunjung, pengalaman berkunjung ke tempat ini dapat sangat berbeda setelah hujan turun. Suasana yang lembap dan aroma tanah dari bekas galian kuburan massal bisa memberikan nuansa yang berbeda. Meskipun saya tidak bisa memastikan kebenarannya sepenuhnya, karena saya tidak mengalami kondisi tersebut saat berkunjung.

Pemandangan Penggalian 1980

Rangkaian tulang mulai dari tengkorak, tulang tangan, tulang kaki, dan fragmen-fragmen lainnya ditemukan selama proses penggalian. Sungguh menakutkan membayangkan proses pembantaian yang terjadi saat itu. Jeritan kesakitan, teriakan yang menusuk, tangis yang pilu, panggilan putus asa kepada orangtua, dan suara ketakutan korban pembantaian seolah menggema di Choeung Ek. Pasukan Pol Pot semakin tergila-gila dengan tindakan kejam mereka dan hantaman dari berbagai alat penyiksaan. Kengerian yang tidak terbayangkan.

Sisa tulang setelah penggalian 1980 di masukkan dalam kotak kaca atau akuarium diisi dengan serpihan kecil tulang dan gigi manusia. Di tempat lain, akuarium serupa juga berisi pakaian korban. Setelah penggalian kuburan massal dilakukan pada sekitar tahun 1980, beberapa pakaian korban terus ditemukan setelah hujan turun.

Pakaian-pakaian tersebut kemudian dikumpulkan dan ditempatkan di tempat khusus, sehingga jika pakaian lain ditemukan, dapat langsung diletakkan di dalam akuarium yang telah disediakan.

Pohon Ajaib

Pohon ini digunakan sebagai tempat untuk menggantung pengeras suara, sehingga suara eksekusi menjadi lebih nyaring dan menghilangkan suara erangan korban saat mereka diakhiri hidupnya.  Saat penyiksaan, kemungkinan lagu atau perintah-perintah keras diputarkan dengan volume tinggi, guna meredam suara jeritan kesakitan dan teriakan kematian. Kekejaman yang tak terperi.

Killing Tree Against Which Executioners Beat Children

Saya sampai di dekat sebatang pohon besar dengan tulisan "Killing Tree Against Which Executioners Beat Children" di bawahnya. Di sekitar tempat tersebut, terlihat tumpukan tulang belulang dan gigi manusia yang dibiarkan terlantar. Tepat di bawah pohon, ada bekas galian ditutupi dengan atap kayu. Galian ini merupakan tempat bekas kuburan massal bayi yang diperkirakan tewas akibat pembunuhan.

Saya coba engaitkan tempat ini dengan Tuol Sleng, dan hal ini membuat saya tertarik karena sepertinya menjawab pertanyaan yang timbul setelah melihat lukisan di museum genosida Tuol Sleng.

Lukisan tersebut menggambarkan bagaimana bayi-bayi dibunuh dengan cara dilemparkan ke udara dan disambut oleh moncong bayonet. Lukisan itu juga memperlihatkan bagaimana kepala bayi-bayi dibenturkan ke batang pohon, di sisi lainnya terdapat gambaran mayat-mayat bayi yang berserakan dan berlumuran darah. Ternyata pohon ini adalah pohon yang diilustrasikan dalam lukisan tersebut di Tuol Sleng.

Bayi Dibunuh Dengan Dibenturkan

Informasi ini saya peroleh berdasarkan tulisan di dalam museum Choeung Ek Genocidal Center.  Mantan kepala Penjara Rahasia S-21, yang dikenal sebagai Duch alias Kaing Guek Eav, mengakui bahwa dia telah memerintahkan bawahannya untuk membunuh anak-anak dan bayi. Cara pembunuhan bayi tersebut seperti yang diilustrasikan sebelumnya, di mana para pelaku mengangkat kaki bayi dan memukulkan kepala mereka ke batang pohon hingga hancur.

Sesuai dengan slogan mereka, "Membersihkan Rumput, itu akan menggali seluruh akarnya," Khmer Merah menangkap seluruh keluarga, termasuk bayi dan anak-anak, untuk mencegah balas dendam di masa mendatang. Dia mengetahui kebijakan Khmer Merah terhadap anak-anak yang ditahan: "Tidak ada gunanya menahan mereka, dan mereka mungkin akan membalas dendam pada Anda." Duch mengatakan, "Awalnya saya tidak mengenali gambar yang menggambarkan bayi-bayi yang dipukul ke pohon, tetapi setelah melihat foto-foto, saya ingat bahwa itu terjadi.

Tindakan ini (bayi-bayi dipukul ke pohon) dilakukan oleh bawahan saya. Saya tidak menyalahkan mereka karena mereka bekerja untuk saya. Saya bertanggung jawab secara pidana atas pembunuhan bayi, anak kecil, dan remaja. Pohon Pembunuhan tetap berdiri di Pusat Genosida Cheung Ek sebagai bukti tindakan yang jahat dan tanpa ampun ini.

Kepala penjara Khmer Merah bukan hanya pejabat Khmer Merah pertama yang diadili atas kekejaman rezim, tetapi juga satu-satunya yang mengungkapkan penyesalan atas tindakan kriminalnya di masa lalu. Empat mantan pemimpin senior lainnya yang sedang menunggu persidangan menyangkal mengetahui kekejaman apa pun. Pengadilan membawa Duch ke Chheung Ek Killing Fields sehingga dia bisa mengingat apa yang dia dan anak buahnya lakukan di masa lalu.

Perjalanan ke Chheung Ek Killing Fields di Museum Genosida, yang berjarak 16 km dari Phnom Penh, adalah pengalaman yang tidak akan pernah ia lupakan. Sebagian besar korban disiksa sebelum dibawa ke Chheung Ek, di mana mereka semua dieksekusi. Duch mengatakan, "Saya ingin menegaskan bahwa saya bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan di S-21, terutama penyiksaan dan eksekusi orang di sana. Saya meminta maaf kepada para korban yang selamat dari rezim dan juga kepada keluarga korban yang brutal dibunuh selama itu."

Di abad ke-20, di wilayah Kamboja, sebuah kelompok kejam yang dikenal sebagai Rejim Pol Pot melancarkan aksi genosida yang mengerikan. Mereka melancarkan pembantaian dalam skala besar yang belum pernah terjadi sebelumnya di dunia.

Dengan adanya Monumen Peringatan yang luar biasa di Pusat Genosida Choeung Ek, kita hampir bisa merasakan getaran suara dari para korban yang dianiaya hingga tewas oleh para pembunuh dengan alat seperti tongkat, bambu, atau cangkul, dan diserang dengan pisau atau pedang.

Kita seolah menyaksikan pemandangan yang mengerikan dan menyedihkan, wajah orang-orang yang menderita karena kelaparan, kerja paksa, atau penyiksaan tanpa ampun pada tubuh yang lemah, dan mereka akhirnya meninggal tanpa bisa mengucapkan kata perpisahan kepada keluarga mereka. Betapa pahitnya bagi mereka melihat orang-orang tercinta seperti anak-anak, pasangan, saudara, atau saudari mereka ditangkap dan diikat kuat, lalu dibawa ke kuburan massal sambil menanti giliran untuk mengalami nasib tragis yang sama, di bunuh.

Dengan segala kekejaman ini, kelompok ini menciptakan luka dan trauma mendalam yang tidak terlupakan dalam sejarah Kamboja, menghilangkan nyawa dan memisahkan keluarga yang tidak berdaya, serta menciptakan penderitaan yang tidak terbayangkan bagi banyak orang yang terkena dampaknya.

Semoga dengan mengunjungi dan mempelajari sejarah serta pengalaman di tempat bersejarah ini, kita semua dapat menjadi lebih bijaksana dan peka terhadap pentingnya perdamaian, toleransi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Pengalaman ini mengajarkan kita tentang dampak buruk dari kebijakan yang penuh kebencian dan kekerasan, serta mengingatkan kita untuk mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan.

Melalui pemahaman mendalam tentang sejarah yang kelam ini, kita dapat menghargai nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian. Semoga pengalaman ini mendorong kita untuk terlibat dalam upaya melawan diskriminasi, kebencian, dan kekerasan di masyarakat kita. Dengan merenungkan kisah-kisah tragis yang terjadi di tempat-tempat bersejarah ini, kita berkomitmen untuk membangun dunia yang lebih baik, di mana semua individu dihormati dan diperlakukan dengan martabat tanpa pandang ras, agama, atau latar belakang budaya.

No comments:

Post a Comment

Designed Template By Blogger Templates - Powered by Sagusablog